Thursday 9 May 2013

INILAH PERBEDAAN ULAMA SEPUTAR HIJAB (CADAR)



Masalah ini sebenarnya adalah masalah khilafiyyah di kalangan para ulama. Maka wajarlah bila kita sering mendapati adanya sebagian ulama yang mewajibkan menutup seluruh tubuh termasuk wajah dengan didukung sederet dalil dan hujjah. Namun kita juga tidak asing dengan pendapat yang mengatakan bahwa boleh membuka wajah dan kedua telapak, ada juga yang menambahkan dengan boleh membuka kedua kaki, pendapat yang ini pun biasanya diikuti dengan beberapa dalil dan hujjah juga.
Merupakan  rahmat  Allah  Subhanahu wa Ta'ala bahwa  perbedaan  pendapat seperti ini tidak terlarang dan bukan  perbuatan  dosa,  dan orang  yang  keliru  dalam berijtihad  ini dimaafkan bahkan mendapat pahala satu. Bahkan  ada  orang  yang  mengatakan, "Tidak  ada  yang salah dalam ijtihad-ijtihad furu'iyah ini, semuanya benar."

Para sahabat dan orang-orang yang  mengikuti mereka dengan baik  juga  sering  berbeda pendapat antara yang satu dengan yang lain  mengenai  masalah-masalah  furu'  (cabang) dalam agama, namun mereka tidak menganggap hal itu sebagai bahaya. Mereka tetap bersikap toleran, dan sebagian mereka shalat di belakang sebagian yang lain, tanpa ada yang mengingkari.
Perbedaan pendapat itu akan terus berlangsung selama nash-nashnya sendiri yang  merupakan sumber  penggalian hukum  masih menerima kemungkinan  perbedaan  pendapat tentang periwayatan dan petunjuknya, selama pemahaman dan kemampuan manusia untuk mengistimbath (menggali dan mengeluarkan) hukum masih berbeda-beda, dan sepanjang masih ada   kemungkinan   untuk   mengambil   zhahir   nash atau kandungannya,  yang  tersurat  atau  yang   tersirat,   yang rukhshah  (merupakan keringanan) ataupun yang 'azimah (hukum asal), yang lebih hati-hati atau yang lebih mudah.
Dalam buku ini, penulis mencoba berusaha menelusuri masing-masing pendapat itu dan berkenalan dengan dalil masing-masing dan juga bagaimana mereka memahami teks suatu dalil. Sehingga dapat memberikan wawasan dalam memasuki wilayah ini, bukan berarti memperuncing titik perbedaan dan berselisih pendapat, melainkan untuk memberikan gambaran yang lengkap tentang dasar kedua pendapat ini. Agar tetap bisa berbaik sangka dan tetap menjaga hubungan baik dengan berbagai pihak.
Sebelum memaparkan dalil-dalil tersebut, alangkah baiknya jika disebutkan terlebih dahulu kesepakatan antara mereka, sehingga memperjelas nantinya inti perbedaan dari pendapat-pendapat tersebut.

1.      Para Ulama sepakat bahwa seluruh tubuh wanita selain wajah, kedua telapak tangan, pergelangan tangan dan kedua kaki adalah wajib ditutup.
Sebagian Fuqaha’ menghikayatkan adanya kesepakatan atas wajibnya wanita menutup seluruh tubuhnya selain wajah dan kedua telapak tangan.
Ibnu Hazm mengatakan:
واتفقوا على أن شعر الحرة وجسمها حاشا وجهها ويدها عورة
“Mereka sepakat bahwasanya rambut dan tubuh wanita merdeka kecuali wajah dan tangannya adalah aurat” [1]
Hikayat tentang kesepakatan yang disebutkan oleh Ibnu Hazm ini masih dapat dibantah karena adanya perbedaan pada masalah pergelangan tangan dan kedua kaki menurut salah satu riwayat dari madzhab hanafi, yang insya Allah akan dipaparkan setelah ini.
Adapun mengenai rambut, tidak ditemukan pendapat yang membolehkan untuk ditampakkan. (sepengetahuan penulis). Sebagaimana disebutkan oleh ulama hanafiyyah dalam Al-Fatawa al-Hindiyah, rambut adalah aurat.[2]  
Disebutkan juga dalam Ahkam al-Quran yang ditulis oleh al-Jashshash :
لا خلاف في أن شعر العجوز عورة لا يجوز للأجنبي النظر إليه كشعر الشابة
“Tidak ada perbedaan, bahwa rambut perempuan tua adalah aurat, tidak boleh bagi laki-laki ajnabi memandangnya sebagaimana rambut wanita muda.”[3]
Dengan demikian, maka yang shahih bahwa Fuqaha’ tidak berbeda pendapat dalam wajibnya menutup rambut dan seluruh tubuh wanita selain dari wajah, kedua telapak tangan, kedua pergelangan dan kedua kaki.
2.      Para Fuqaha sepakat atas wajibnya wanita menutup wajah, kedua telapak tangan, kedua pergelangan dan kedua kaki jika ditakutkan adanya fitnah dan pandangan dengan syahwat. Kecuali satu qaul dari al-Qadhi ‘Iyadh dalam madzhab malikiyah yang berlainan dengan pendapat madzhab malikiyah yang masyhur. Yang mengatakan: “Bahwasanya yang demikian tidak wajib bagi wanita tetapi bagi laki-laki ia harus menundukkan pandangannya.”[4]
3.      Terjadinya perbedaan pendapat di kalangan Ulama mengenai wajibnya wanita menutup wajah, kedua telapak tangan, kedua pergelangan dan kedua kaki di hadapan laki-laki ajnabi ketika tidak ada kekhawatiran adanya timbulnya fitnah, yang insya Allah akan diuraikan berikut ini.

Pendapat Pertama : wanita wajib menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Pendapat ini di antaranya menurut Ulama Hanafiyyah[5], Malikiyyah,[6] salah satu pendapat dari madzhab Syafi’iyah khilaf ash-shahih al-mufta bih (yang berlainan dengan pendapat yang shahih dan telah difatwakan)[7] dan salah satu riwayat khilaf al-madzhab (yang berlainan dengan pendapat madzhab) dalam madzhab Hanabilah.[8]
Diantara dalil-dalil syar'iyah terpenting yang dijadikan dasar oleh pendapat ini adalah sebagai berikut:

1.      Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Surah an-Nur : 31
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا (النور : 31)
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya., ...” (QS An Nur : 31)
Ayat ini menunjukkan bolehnya memandang kepada medan perhiasan yang dhahir, medan-medan perhiasan yang dhahir tersebut adalah wajah dan kedua telapak tangan. Celak adalah perhiasan wajah dan cincin adalah perhiasan telapak tangan. Dengan demikian boleh memandang wajah dan kedua telapak tangan.[9]
Ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Ibnu Abi Hatim dan lainnya dari Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhuma, : (dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.,) beliau mengatakan: telapak tangan dan wajah. (HR Al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya, dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf)
Tetapi, tafsir Ibnu Abbas bahwa perhiasan yang tampak adalah wajah dan kedua telapak tangan ini memiliki kelemahan, karena bertentangan dengan tafsir Ibnu Mas’ud.[10]
Sementara itu, bolehnya membuka wajah adalah pada masa permulaan islam, kemudian dinasakh dengan ayat hijab. Ibnu Taimiyah mengatakan :
فابن مسعود ذكر آخر الأمرين وابن عباس ذكر أول الأمرين
"Ibnu Mas’ud menyebutkan akhir dari dua perintah dan Ibnu Abbas menyebutkan awal dari dua perintah."[11]
Tafsir Ibnu Abbas tersebut kemungkinan bagi wanita yang ada di dalam rumah dan sulit untuk menutupinya, dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhuma,
(ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها) قال:"والزينة الظاهرة الوجه وكحل العين وخضاب الكف والخاتم فهذه تظهر في بيتها لمن دخل من الناس عليها
kecuali apa yang biasa tampak daripadanya”beliau mengatakan: “perhiasan yang biasa tampak adalah wajah, celak mata, telapak tangan dan cincin, maka semua ini biasa tampak di dalam rumahnya bagi manusia yang masuk ke dalam rumahnya. (HR Ibnu Jarir dalam Tafsir Ath Thabari, dan Al Baihaqi as-Sunan Al Kubra)
Dan tafsir Ibnu Abbas dalam QS Al Ahzab : 59
عن ابن عباس رضي الله عنهما : قوله (يا أيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن) أمر الله نساء المؤمنين إذا خرجن من بيوتهن في حاجة أن يغطين وجوههن من فوق رءوسهن بالجلابيب ويبدين عينا واحدة.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta'ala , “Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Allah memerintahkan kepada istri-istri kaum mukminin, jika mereka keluar rumah karena suatu keperluan, hendaklah mereka menutupi wajah mereka dengan jilbab dari kepala mereka. Mereka dapat menampakkan satu mata saja.” ( HR Ibnu Jarir dalam Tafsirnya dan Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya)
Kemudian jika kita amati lebih dalam, ayat tersebut menggunakan kata Illa maa dhahara minha (kecuali apa yang biasa tampak dari padanya) bentuk fi’il adalah lazim (intransitif) bukan bentuk muta’adi (transitif) Illa maa adhharna minha (Kecuali apa yang biasa mereka tampakkan dari padanya) ini menunjukkan bahwa yang dikehendaki dari istitsna’ (pengecualian) ini adalah perhiasan itu tampak dengan sendirinya, bukan yang ditampakkan oleh wanita dengan disengaja.[12] Ibnu Atiyah mengatakan:
ويظهر لي بحكم ألفاظ الآية أن المرأة مأمورة بألا تبدي، وأن تجتهد في الإخفاء لكل ما هو زينة ووقع الاستثناء فيما يظهر بحكم ضرورة حركة فيما لا بد منه أو إصلاح شأن ونحو ذلك، فما ظهر على هذا الوجه مما تؤدي إليه الضرورة في النساء فهو المعفو عنه
“Yang nampak/jelas menurut saya mengenai hukum dari lafadz ayat  adalah sesungguhnya wanita diperintahkan untuk tidak menampakkan dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menyembunyikan segala sesuatu yang dianggap sebagai perhiasan. Kemudian terjadinya pengecualian adalah mengenai sesuatu gerakan yang darurat dan tidak bisa dielakkan lagi, atau untuk suatu urusan kemaslahatan dan sebagainya. Maka, apa saja yang nampak dan jelas atas sudut pandang ini yaitu yang termasuk diakibatkan oleh adanya darurat bagi wanita, maka yang demikian itu dimaafkan.[13]
2.      Hadits dari Aisyah Radhiallahu 'anha
عن عائشة رضي الله عنها أن أسماء بنت أبي بكر رضي الله عنها دخلت على رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وعليها ثياب رقاق فأعرض عنها رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وقال:"يا أسماء إن المرأة إذا بلغت المحيض لم تصلح أن يرى منها إلا هذا وهذا، وأشار إلى وجهه وكفيه
Dari Aisyah Radhiallahu 'anha, bahwa Asma binti Abu Bakar pernah menghadap Nabi saw. dengan mengenakan tsiab riqaq (pakaian yang tipis), lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam berpaling seraya berkata:"Wahai Asma, apabila wanita telah mengeluarkan darah haid (sudah dewasa), maka tidak boleh tampak dari tubuhnya selain ini dan ini,' dan beliau berisyarat kepada wajah dan kedua telapak tangannya." (HR Abu Dawud)
Hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa seorang wanita tidak boleh terlihat darinya kecuali wajah dan kedua telapak tangan.[14]
Hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah karena beberapa hal:
a.       Hadits ini dha’if dan tidak bisa dijadikan hujjah, dengan beberapa alasan.
1)      Terputusnya rantai sanad hadits dari Khalid bin Duraik dan Aisyah[15]
2)      Di dalamnya terdapat Sa’id bin Basyir Al Bashri, beliau adalah Dha’if. sebagaimana disebutkan dalam Taqri>b at-Tahdzi>b.[16]
3)      Di dalamnya ada Qatadah bin Du’amah as-Sadusi beliau dikenal dengan sifat tadli>s, sebagaimana disebutkan dalam Tahdzi>b al-Kama>l[17]
4)      Di dalamnya ada Al Walid bin Muslim, dikenal dengan banyaknya tadli>s dan taswiyah kepada orang-orang yang lemah dan bodoh. Demikian disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Thabaqa>t al Mudallisi>n[18]
b.      Seandainya hadits ini dianggap shahih, bisa jadi hadits ini adalah sebelum turun ayat hijab,[19] kemudian  dinasakh dengan ayat hijab, atau kemungkinan besar jika dalam keadaan udzur, seperti melihatnya peminang, saksi atau qadhi.[20] Dikuatkan dengan hadits dari Asma’ Radhiallahu 'anha dalam hadits shahih, yang menunjukkan bahwa Asma’ sendiri menutup wajah.
كنا نغطي وجوهنا من الرجال وكنا نمتشط قبل ذلك في الإحرام
Kami menutupi wajah kami dari laki-laki, dan kami menyisiri rambut sebelum itu di saat ihram. (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim”, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
3.      Hadits dari Jabir radhiallahu anhu.
شهدت مع رسول الله - صلى الله عليه وسلم - الصلاة يوم العيد فبدأ بالصلاة قبل الخطبة بغير أذان ولا إقامة، ثم قام متوكئاً على بلال فأمر بتقوى الله وحث على طاعته ووعظ الناس وذكَّرهم، ثم مضى حتى أتى النساء فوعظهن وذكرهن فقال: تصدقن فإن أكثركن حطب جهنم . فقامت امرأة من سِطَة النساء سفعاء الخدين فقالت: لِمَ يا رسول الله؟ قال: لأنكن تُكْثِرن الشَّكاة وتَكْفُرْن العشير . قال: فجعلن يتصدقن من حُلِيّهن يلقين في ثوب بلال من أقرطتهن وخواتمهن
Saya hadir bersama Rasulullah saw. pada hari raya (Id), lalu beliau memulai shalat sebelum khutbah dengan tanpa adzan dan iqamat, kemudan berdiri  bersandar kepada Bilal dan memerintahkan agar bertaqwa kepada Allah dan menghimbau kepada mereka agar selalu taat kepada Allah, memberikan nasehat dan peringatan kepada mereka, Kemudian beliau berjalan hingga tiba di tempat kaum wanita, lantas beliau menasihati dan mengingatkan mereka seraya bersabda: "Bersedekahlah kamu karena kebanyakan kamu adalah umpan neraka Jahanam." Lalu berdirilah seorang wanita yang baik yang kedua pipinya berwarna hitam kemerah-merahan, lalu ia bertanya, "Mengapa, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Karena kamu banyak mengeluh dan mengkufuri pergaulan (dengan suami)." Jabir berkata, "Lalu mereka menyedekahkan perhiasan mereka, melemparkan anting-anting dan cincin mereka ke pakaian Bilal." (HR. Muslim)
Dalam hadits ini perawi menceritakan dan menggambarkan bahwa wanita tersebut “kedua pipinya berwarna hitam kemerah-merahan”, ini menunjukkan bahwa wanita tersebut membuka wajahnya”[21]
Bagaimanapun juga Hadits tersebut tidak menunjukkan bahwasanya Rasulullah melihat wanita tersebut terbuka wajahnya kemudian menetapkannya terhadap yang demikian itu. Tetapi hadits tersebut hanya menunjukkan bahwasanya pada dasarnya Jabir melihat wajahnya. Yang demikian itu tidak dapat dipastikan bahwa terbukanya wajah wanita tersebut dengan disengaja, karena terkadang kerudung itu lepas atau berubah dari posisinya dengan tanpa disengaja, sebagaimana an-Nabighah adz-Dzibyani berkata dalam syairnya:
سقط الخمار ولم ترد إسقاطه……فتناولته واتّقتنا باليد
“Lepasnya kerudung sedangkan ia tidak berkehendak melepaskannya, maka iapun mengambilnya dengan tangannya dan menjauhi kami.”[22]
Kemudian perkataan perawi : (Sufa-a` al Khiddain) “kedua pipinya berwarna hitam kemerah-merahansebenarnya menunjukkan wajah yang usang, karena suf’ah adalah kehitam-hitaman dan suatu tanda perubahan pada wajah yang disebabkan sakit, terkena musibah atau perjalanan umur yang sudah lanjut. Wanita seperti ini masuk dalam kategori yang mendapat rukhshah sebagaimana disebutkan dalam QS An-Nur : 60 “Dan Perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah dosa atas mereka menanggalkan pakaian (jilbab) mereka dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasan…”[23]
Dengan demikian hadits tersebut tidak dapat dijadikan dalil sebagaimana yang dimaksudkan diatas.[24]



4.      Hadits al-Khats’amiyah dan al-Fadhl bin Abbas
عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما قال أردف رسول الله - صلى الله عليه وسلم - الفضل بن عباس يوم النحر خلفه على عجز راحلته، وكان الفضل رجلاً وضيئاً، فوقف النبي - صلى الله عليه وسلم - للناس يفتيهم، وأقبلت امرأة من خثعم وضيئة تستفتي رسول الله - صلى الله عليه وسلم - فطفق الفضل ينظر إليها وأعجبه حسنها، فالتفت النبي - صلى الله عليه وسلم - والفضل ينظر إليها، فأخلف بيده فأخذ بذقن الفضل فعدل وجهه عن النظر إليها.
“Dari Abdullah bin Abbas Radliallahu anhuma, ia berkata: pada hari nahr (haji wada) Al-Fadhl bin Abbas membonceng Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Fadhl adalah laki-laki yang tampan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berhenti dan memberikan memberikan fatwa kepada manusia, tiba-tiba seorang wanita cantik dari Khats’am menghadap dan bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian al-Fadhl melirik wanita itu, dan kagum akan kecantikannya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menoleh dan al-Fadhl masih memandangnya, maka beliaupun memegang dagu al-Fadhl dan memalingkan wajahnya dari memandang kepada wanita tadi” (HR Bukhari dan Muslim)
Andaikata wajah itu aurat yang harus ditutup, sudah barang tentu Rasulullah saw. tidak mengakui (tidak membenarkan) wanita itu membuka wajahnya di hadapan orang banyak, dan sudah pasti beliau menyuruhnya melabuhkan pakaiannya dari atas. Dan seandainya wajahnya tertutup niscaya putra Abbas itu tidak akan tahu apakah wanita itu cantik atau jelek.[25]
Syekh Asy-Syinqity dalam Tafsirnya “Adhwa`u al-Bayan fii Idhah al-Quran bi al-Quran” menjawab pendapat tersebut berdasarkan alasan berikut ini.
Pertama, Tidak ada dalam berbagai riwayat hadits ungkapan dengan jelas bahwa wanita tersebut membuka wajahnya, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya demikian dan menetapkan (mengakui) yang demikian itu. Tetapi dalam hadits tersebut hanya menyebutkan bahwa wanita tersebut cantik dan menarik. Yang demikan itu, tidak dapat dipastikan bahwa wanita tersebut membuka wajahnya, bahkan bisa jadi terbuka kerudungnya dengan tanpa disengaja.Al-Husnu” yang berarti cantik tidak dapat dipastikan ia membuka wajahnya, apalagi Rasulullah melihatnya demikian dan menetapkannya (mengakuinya), karena kecantikan dari seorang perempuan terkadang masih tetap diketahui walaupun ia berkerudung, yang demikian itu karena keindahan postur dan bentuk tubuhnya, atau terkadang juga ketika terlihat ujung jarinya sebagaimana yang telah maklum.
Kedua, wanita tersebut dalam keadaan ihram, sedangkan wanita ketika ihram dilarang menutup wajah dan kedua telapak tangannya, ia harus membuka wajah dan kedua telapak tangannya jika tidak ada laki-laki ajnabi yang melihatnya, karena jika ada laki-laki ajnabi walaupun sedang ihram, ia tetap menutup wajahnya sebagaimana yang dilakukan oleh isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya. Dan tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa wanita itu dilihat oleh orang lain selain dari al-Fadhl bin Abbas Radhiallahu anhu, kemudian ternyata al-Fadhl sendiri oleh Nabi dilarang untuk melihat wanita tersebut. Dengan demikian jelaslah bahwa wanita tersebut sedang ihram dan tidak ada seorangpun yang melihatnya, maka kalau begitu jika ia membuka wajahnya, itu karena dalam keadaan ihram, bukan karena bolehnya sufur (membuka wajah).[26]

Pendapat Kedua: Wanita wajib menutup seluruh tubuh kecuali wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki. Pendapat ini menurut salah satu riwayat dari Abu Hanifah.[27]
Diantara dalil-dalil yang terpenting menurut pendapat ini di antaranya:
1.      Mengenai wajah dan kedua telapak tangan, dalil-dalilnya sudah dipaparkan dalam pendapat yang pertama.
2.      Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiallahu ‘anha dalam menafsirkan firman Allah “kecuali yang biasa tampak darinya” : gelang (al-Qulb) dan  dan cincin (al-Fatkhah). (HR Ibnu Syaibah, Al Baihaqi, Ibnu Abi Hatim)
Hadits ini menunjukkan bahwa terlihatnya kaki adalah boleh, karena yang dimaksud dengan al-Fatkhah adalah cincin dari kaki.[28]
Penafsiran tersebut bertentangan dengan penafsiran Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhum dalam menafsirkan pengecualian dalam ayat tersebut, sehingga diluar dari yang dikecualikan adalah masih dalam kategori yang dilarang.[29] Perkataan dari Aisyah Radliallahu ‘anha adalah qaul ash-shahabiy, dan qaul ash-shahabiy ketika tidak ada kesepakatan diantara mereka, maka tidak bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum.
Kemudian, sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya, bahwa yang dikehendaki dari istitsna’ (pengecualian) ini adalah perhiasan itu tampak dengan sendirinya, bukan yang ditampakkan oleh wanita dengan disengaja.
3.      Dalil ‘Aqli
Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang untuk menampakkan perhiasan dan memberikan pengecualian perhiasan yang dhahir, maka bukankah kita melihat bahwa kaki akan terlihat dan tampak ketika berjalan? Sehingga kedua kaki adalah termasuk dari pengecualian dari larangan, maka berarti kedua kaki boleh ditampakkan.[30] Kemudian terkadang bisa diketahui juga wanita akan menampakkan kakinya ketika ia berjalan tanpa menggunakan sandal atau menggunakan sandal, dan terkadang juga tidak menemukan khuf (sandal/selop) pada setiap waktu.[31]
Bagaimanapun juga, pendapat yang membolehkan membuka wajah dan kedua telapak tangan adalah karena adanya hajat untuk membukanya dalam muamalat ataupun bertransaksi. Dan tidak ada hajat untuk membuka kaki, sehingga kaki tetap tidak boleh terlihat.[32]
Kemudian, diantara dalil yang menunjukkan bahwa kaki tidak boleh ditampakkan adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar Radliallahu ‘anhu:
من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة . فقالت أم سَلَمة: فكيف يصنعن النساء بذيولهن؟ قال: يرخين شبراً . فقالت: إذاً تنكشف أقدامهن . قال: فيرخينه ذراعاً لا يزدن عليه.
“Barang siapa menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Kemudian Ummu Salamah bertanya: “Bagaimana para wanita membuat ujung pakaian mereka?” Beliau menjawab: “Hendaklah mereka menjulurkan sejengkal” Ummu Salamah berkata lagi: “Kalau begitu kaki mereka akan tersingkap?” Beliau menjawab: “Hendaklah mereka menjulurkan sehasta, mereka tidak boleh melebihkannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasai, dan Tirmidzi mengatakan : Hadits ini Hasan Shahih)

Pendapat Ketiga: Wanita wajib menutup seluruh tubuh tanpa kecuali. Pendapat ini diantaranya menurut ­al-Qaul ash-Shahih al-Mufta bihi (pendapat yang shahih dan telah difatwakan) dalam madzhab Syafi’iyyah[33] dan pendapat al-Madzhab dalam Hanabilah[34]

Diantara dalil-dalil yang terpenting menurut pendapat ini di antaranya:

1.      Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam QS Al Ahzab : 59
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (الأحزاب : 59)
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[35] ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.. (Al Ahzab : 59)
Ibnu Abbas Radhiallahu ‘huma mengatakan:
عن ابن عباس رضي الله عنهما : قوله (يا أيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن) أمر الله نساء المؤمنين إذا خرجن من بيوتهن في حاجة أن يغطين وجوههن من فوق رءوسهن بالجلابيب ويبدين عينا واحدة
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta'ala , “Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Allah memerintahkan kepada istri-istri kaum mukminin, jika mereka keluar rumah karena suatu keperluan, hendaklah mereka menutupi wajah mereka dengan jilbab dari atas kepala mereka. Mereka dapat menampakkan satu mata saja.” (HR Ibnu Jarir dalam Tafsirnya, Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya)
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya mengatakan: Allah Subhanahu wa Ta'ala berkata kepada Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa Sallam : ““Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min, Janganlah mereka menyerupai hamba sahaya wanita ketika mereka keluar dari rumah mereka untuk suatu keperluan karena mereka membuka rambut dan wajah mereka, tetapi hendaknya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka agar - ketika mereka diketahui bahwa mereka adalah wanita merdeka - tidak diganggu oleh orang fasiq dengan mengucapkan kata-kata kotor kepada mereka.”[36]
Abu Bakar Ar Razi juga mengatakan dalam tafsirnya: dalam ayat “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka"  terdapat dalil bahwa wanita muda diperintahkan untuk menutup wajahnya dari laki-laki ajnabiy.[37]
Pendapat ini dibantah oleh pendapat pertama yang berpendapat bahwa firman Allah "hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" tidak memastikan menutup wajah, karena penafsiran sebagian ahli tafsir bahwa ayat itu memastikan menutup muka, berlainan dengan pendapat sebagian yang lain yang mengatakan bahwa yang dimaksud dari ayat itu adalah hendaknya mereka mengikatkan jilbab mereka ke dahi (kepala) mereka.[38]
Tetapi bantahan inipun dijawab, bahwasanya dalam ayat tersebut terdapat qarinah yang jelas bahwa maksud firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" termasuk juga menutup muka mereka, qarinah tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu”, merupakan dalil kewajiban hijab dan menutup wajah bagi istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak ada perselisihan dalam hal ini di antara kaum muslimin. Sedangkan dalam ayat ini istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bersama-sama dengan anak-anak perempuan beliau serta istri-istri orang mukmin. Ini berarti hukumnya mengenai seluruh wanita mukmin.[39]
Dikuatkankan oleh hadits dari Ummu Salamah Radhiallahu ‘anha, katanya:
قالت أم سلمة لما نزلت هذه الآية: يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ. خَرَجَ نِسَاءُ الأَنْصَارِ كَأَنَّ عَلَى رُءُوسِهِنَّ الْغِرْبَانَ مِنَ الأَكْسِيَةِ.
“Ummi salamah menceritakan ketika ayat ini turun: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” maka wanita sahabat anshar keluar rumah seakan-akan burung gagak di atas kepala mereka karena pakaian.” (HR. Abu dawud).
Abd al-Muhsin al-‘Ibad dalam Syarah Sunan Abu Dawud Menerangkan : “yakni, dari sisi kerudung : maksud dari hadits tersebut adalah mereka bergegas menutup kepala dan wajah mereka sehingga menjadi “seakan-akan burung gagak di atas kepala mereka” , yakni, dari segi warna : warna burung gagak adalah hitam, dan warna kerudung yang mereka pakai adalah seperti itu, tetapi ini tidak memastikan bahwa hijab harus hitam.[40]
2.      Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam QS An Nur : 31
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,” (QS An-Nur : 31)
Dalam ayat ini terdapat dalil wanita wajib menutup seluruh badan dari dua sisi:
Sisi Pertama: Allah melarang wanita manampakkan perhiasan dari laki-laki ajnabiy kecuali perhiasan yang tampak yang tidak mungkin untuk disembunyikan.[41]
Dari Ibnu Mas’ud mengatakan : “dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya” yaitu pakaian.” (HR Ibnu Syaibah, Ibnu Jarir dalam tafsirnya, Al-Hakim dalam al-Mustadrak, Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya, Al-Hakim mengatakan : “hadits ini shahih berdasarkan syarat dalam Shahih Muslim, tetapi ia tidak mengeluarkannya.”)
Sisi Kedua : firman Allah Ta’ala “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya” dalam ayat ini Allah memerintahkan wanita agar menutupkan kain kudungnya dari kepala ke dadanya, termasuk juga wajahnya.[42].
Diriwayatkan dari Aisyah Radliallahu ‘anha ia berkata:
يرحم الله نساء المهاجرات الأول لما أنزل الله { وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ } شققن مروطهن فاختمرن بها
"Semoga Allah merahmati wanita muhajirin yang pertama ketika Allah menurunkan :Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya” mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya. (HR. Bukhari dan Abu Dawud).
Ibnu Hajar mengatakan : “lalu mereka berkerudung dengannya” maksudnya adalah mereka menutup wajah mereka.[43]
3.      Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam QS Al Ahzab : 53
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Al Ahzab: 53).
Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwasanya antara pria dan wanita ketika ada keperluan agar menggunakan hijab diantara mereka.[44]
Dikatakan bahwa hukum ayat ini khusus kepada istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam.[45]
Inipun dijawab, bahwasanya hukum ayat ini adalah umum kepada seluruh wanita yang beriman, dengan beberapa alasan:
Pertama:
ما تقرر في الأصول من أن خطاب الواحد يعم حكمه جميع الأمة
“Apa yang telah ditetapkan dalam ushul bahwa khitab kepada satu orang hukumnya umum kepada seluruh ummat”[46]
Kedua: Dalam siyaq ayat berikutnya diterangkan melalui firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
لَا جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي آَبَائِهِنَّ وَلَا أَبنَائهنَّ ... الآية
“Tidak ada dosa atas isteri-isteri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka…..” (QS Al Ahzab : 55)
Dalam hal ini Ibnu Katsir mengatakan:
لما أمر تبارك وتعالى النساء بالحجاب من الأجانب، بيّن أن هؤلاء الأقارب لا يجب الاحتجاب منهم، كما استثناهم في سورة النور عند قوله تعالى (ولا يبدين زينتهن إلا لبعولتهن... الآية")
Ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan para wanita agar berhijab dari laki-laki ajnabiy, Allah menjelaskan bahwa terhadap mereka para kerabat dekat, tidak wajib berhijab dari mereka, sebagaimana Allah telah memberikan pengecualian tentang mereka dalam surat An-Nur “dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami-suami mereka …dst (QS An-Nur : 31)”[47]

4.      Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar Radliallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
لا تنتقب المحرمة ولا تلبس القفازين
Janganlah wanita yang berihram mengenakan cadar dan memakai kaos tangan (HR Bukhari)
Ibnu Taimiyyah mengatakan: Hadits ini adalah merupakan salah satu bukti bahwa cadar dan kaos tangan adalah sesuatu yang dikenal bagi wanita yang tidak ihram, ini memastikan bahwa mereka memang menutup wajah dan tangan mereka.[48]
5.      Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Radliallahu ‘anha, ia bekata:
كان الركبان يمرون بنا ونحن مع رسول الله - صلى الله عليه وسلم - محرمات، فإذا حاذوا بنا سدلت إحدانا جلبابها من رأسها على وجهها، فإذا جاوزونا كشفناه
“Para pengendara kendaraan biasa melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka jika mereka mendekati kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya pada wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, kamipun membukanya lagi.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain)
Memang, kalau hanya hadits ini saja tidak dapat dijadikan hujjah karena di dalam isnadnya terdapat Yazid bin Abi Ziyad sedangkan ia adalah dha’if sebagaimana disebutkan dalam Taqrib at-Tahdzib.[49] tetapi ia mempunyai syahid (pendukung) dari hadits shahih dari Asma binti Abu Bakar Radliallahu ‘anhuma sehingga kedudukannya menjadi kuat, katanya:
كنا نغطي وجوهنا من الرجال وكنا نمتشط قبل ذلك في الإحرام
Kami menutupi wajah kami dari laki-laki, dan kami menyisiri rambut sebelum itu di saat ihram. (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim”, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Dengan demikian hadits Aisyah menjadi kuat dengan syahid (pendukung) dari hadits Asma’ tersebut. Wallahu A’lam.
Hadits ini menunjukkan bahwa seorang wanita apabila ada laki-laki yang melewatinya, maka ia menurunkan jilbabnya dari kepalanya pada wajahnya. Sebagaimana yang dilakukan oleh wanita beriman pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam.[50]
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa perbuatan yang wajib tidak bisa ditinggalkan kecuali dengan sesuatu yang wajib pula.
Dalam qaidah fiqhiyyah disebutkan:
الواجب لا يترك إلا لواجب
“sesuatu yang wajib tidak bisa ditinggalkan keculai karena perkara wajib pula”
الواجب لا يترك لسنة
“Sesuatu yang wajib tidak bisa ditinggalkan karena perkara sunnah”
ما كان ممنوعا إذا جاز وجب
“Apa saja yang telah dilarang, jika boleh, berarti itu adalah wajib” [51]
Dalam hadits sebelumnya disebutkan bahwa pada saat ihram para wanita dilarang menutup wajahnya dan wajib melepaskan cadar, tetapi dalam hadits ini ketika ada laki-laki yang melalui mereka, mereka menutup wajah mereka dengan jilbab mereka, kemudian setelah kaum laki-laki telah berlalu, mereka membukanya lagi padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersama mereka dan beliau tidak melarangnya, ini menguatkan (berdasarkan qaidah fiqhiyyah di atas) bahwa menutup wajah dihadapan laki-laki ajnabiy memang perkara wajib, karena wajibnya melepas cadar (penutup wajah) ketika ihram tidak bisa ditinggalkan kecuali karena wajibnya menutup wajah dari pandangan laki-laki ajnabiy. Wallahu A’lam.
6.      Haditsul Ifki yang diriwayatkan dari Aisyah Radliallahu ‘anha
وكان صفوان بن المعطل السلمي ثم الذكواني من وراء الجيش فأصبح عند منزلي فرأى سواد إنسان نائم، فعرفني حين رآني وكان رآني قبل الحجاب، فاستيقظت باسترجاعه حين عرفني، فخمرت وجهي بجلبابي
“Shafwan bin al-Mu’athal adalah termasuk pasukan yang dibelakang, maka tibalah ia di tempatku, lalu melihat manusia (berpakaian) hitam sedang tidur, maka iapun mengenaliku ketika melihatku. Ia dahulu pernah melihatku sebelum (diwajibkan) hijab, lalu aku terbangun karena istirja’nya (perkataan “Inna lillaahi…”) ketika dia mengenaliku. Maka akupun menutupi wajahku dengan jilbabku…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa menutup wajah adalah termasuk bagian dari hijab atas ummatul mukminin dan wanita beriman. Dapat diketahui pula bahwa wanita menutup wajahnya bukan hanya dari pandangan laki-laki ajnabiy yang fasiq atau tidak shalih, bahkan kepada laki-laki yang shalih juga. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim.[52]

Simpulan dan Tarji>h
Setelah kita memperhatikan dalil-dalil dari ketiga pendapat tersebut, maka jelas lah (Wallahu A’lam) bahwa pendapat yang ra>jih adalah Pendapat Ketiga yang berpendapat wajibnya wanita menutup seluruh tubuh termasuk wajah dan kedua telapak tangan, dengan alasan berikut ini:
1.      Dalil-dalil yang dijadikan pegangan bagi pendapat ini lebih kuat baik dari dalil qurani ataupun dari sunnah.
2.      Lebih sedikit pertentangan ataupun bantahan yang ditujukan kepada pendapat ini dibanding pendapat-pendapat yang lain.
3.      Pendapat ini lebih dekat dengan Maqashid asy-Syari’ah, yaitu mencegah dari jalan yang dapat menimbulkan fitnah seiring dengan berubahnya zaman dan kemorosotan akhlak dan moral manusia.
4.      Apa yang dikatakan oleh pendapat ini adalah  amaliyah yang tampak dan umum bahkan telah menjadi adat kebiasaan dikalangan kaum muslimin, sebagaimana dihikayatkan oleh beberapa ulama, di antaranya:
Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin.
لم يزل الرجال على ممر الزمان مكشوفي الوجوه، والنساء يخرجن منتقبات
“Laki-laki sepanjang jaman adalah selalu terbuka wajahnya, dan wanita keluar dengan bercadar”.[53]
Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari:
استمرار العمل على جواز خروج النساء إلى المساجد والأسواق والأسفار منتقبات لئلا يراهن الرجال
“kontinyuitas  amal atas bolehnya wanita keluar ke masjid, pasar dan perjalanan, tetapi dengan bercadar agar laki-laki tidak melihatnya”[54]
Ibnu Hajar al-Asqalani> juga menambahkan bahwa adat mereka juga seperti ini:
ولم تزل عادة النساء قديما وحديثا يسترن وجوههن عن الاجانب
“Kebiasaan para wanita dahulu dan sekarang adalah senantiasa menutup wajah mereka dari laki-laki ajnabi[55]
Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj mengenai perkataan an-Nawawi:
(وَكَذَا عِنْدَ الْأَمْنِ) مِنْ الْفِتْنَةِ فِيمَا يَظُنُّهُ مِنْ نَفْسِهِ وَبِلَا شَهْوَةٍ (عَلَى الصَّحِيحِ) وَوَجَّهَهُ الْإِمَامُ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ عَلَى مَنْعِ النِّسَاءِ أَنْ يَخْرُجْنَ سَافِرَاتِ الْوُجُوهِ
“Begitu juga ketika aman dari fitnah dan ketika tidak adanya syahwat berdasarkan pendapat yang shahi>h, Imam an-Nawawi berpendapat seperti ini karena kepakatan kaum muslimin melarang wanita keluar dengan membuka wajah”[56]

Beberapa Peringatan
Sebagaimana yang telah penulis katakan sebelumnya, masalah ini adalah masalah khilafiyah, para ulama saat ini pun demikian, diantara mereka ada yang membolehkan membuka wajah dan ada yang mewajibkan menutup wajah.
Di antara yang membolehkan membuka wajah adalah ulama kenamaan pakar hadits zaman ini, yaitu Syekh Muhammad Nashiruddin Al Bani dalam kitabnya Hija>b al-Mar’ah al-Muslimah fi> al-Kitab wa as-Sunnah, begitu juga Dr. Yusuf Qardhawi dalam Fatwa Kontemporernya dan dalam kitab al-Halal wal Haram fil Islam, kemudian sebagian besar ulama al-Azhar Mesir, dll.
Sedangkan di antara ulama yang mewajibkan menutup wajah adalah ulama besar Syekh Abul A'la al-Maududi dalam kitabnya al-Hijab, Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam Tafsir Ayat al-Ahkam, Syekh Muhammad al-Amin asy-Syinqiti dalam Tafsir Adhwaul Bayan F>>i> Idha>hil Quran bil Quran, penulis kenamaan dari Suriah, Dr. Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi dalam risalahnya Ilaa Kulli Fataatin Tu'minu billaahi, Ustadz Sha>lih bin Ibrahim al-Bulaihi> dalam risalahnya Yaa Fata>tal Islam Iqra’i> hatta> la> Takhdli’i>, Syekh Hamu>d bin Abdillah at-Tuwaijiri> dalam kitabnya ash-Sha>rim al-Masyhu>r ‘ala Ahli at-Tabarruj wa as-Sufur, Ustadz Sa>mi> bin Kha>lid al-Hamu>d dalam Thesisnya al-A’mal al-Fida’iyyah Shuwaruha wa Ahkamuha al-Fiqhiyyah, begitu juga mayoritas ulama Saudi yang ditokohi oleh Syekh Abdul Aziz bin Ba>z dan Syekh al-Utsaimin dalam Risalatul Hijab, dll.
Sebagaimana dalam sub bab di atas, dalam hal ini penulis memilih menutup seluruh tubuh sebagai salah satu syarat hijab syar’i, tanpa mengecualikan wajah, kedua telapak tangan ataupun kedua kaki, bukan berarti penulis mewajibkan secara mutlak menutup wajah bagi wanita (dengan syarat ketika aman dari fitnah), dan mengingkari pendapat yang membolehkan membuka wajah, karena bagaiamanapun juga pendapat yang membolehkan membuka wajah (ketika aman dari fitnah) juga berasal dari ulama madzhab, diikuti ulama-ulama saat ini sebagaimana disebutkan di atas, disebutkan juga dalam qaidah fiqh:
لا ينكر المختلف فيه وإنما ينكر المجمع عليه
“tidak diingkari perkara yang diperselisihkan di dalamnya, karena sesungguhnya yang diingkari adalah perkara yang disepakati”. [57]
Tetapi alasan penulis memilih menutup seluruh tubuh sebagai syarat hijab syar’i dalam hal ini adalah, di antaranya:
1.      Pendapat yang mewajibkan menutup seluruh tubuh termasuk wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki baik dalam keadaan ditakutkan timbulnya fitnah atau ketika aman dari fitnah adalah lebih raji>h .
2.      Walaupun para fuqaha’ berbeda pendapat ketika aman dari fitnah, tetapi mereka sepakat atas wajibnya menutup wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki bagi wanita ketika dikhawatirkan timbulnya fitnah atau pandangan syahwat, sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya. Sedangkan pada zaman ini, dimana sudah tidak asing lagi bahwa merosotnya moral dan akhlak manusia sudah merajalela, pergaulan bebas sudah merebak di kalangan remaja, budaya ikhtilath merupakan suatu hal yang biasa, fitnah menimpa manusia di mana-mana, dll.
3.      Pernyataan dalam qaidah fiqhiyyah bahwa “jika terkumpul perkara halal dan perkara haram, maka perkara yang haram yang diunggulkan”
إذا اجتمع الحلال و الحرام غلب الحرام
“Jika terkumpul perkara halal dan haram, maka perkara haram yang unggul”. [58]
Yaitu jika ada dua dalil yang bertentangan, salah satunya menuntut pengharaman, dan yang lain menuntut pembolehan, maka pengharaman didahulukan berdasarkan pendapat yang ashoh.[59]
4.      Pernyataan dalam qaidah fiqhiyyah juga bahwa : “Keluar dari perselisihan (khilaf) adalah mustahab”
الخروج من الخلاف مستحب
“Keluar dari perselisihan (khilaf) adalah mustahab”[60]
Pembolehan membuka wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki, adalah perkara yang diperselisihkan. Sedangkan pembolehan praktek menutup wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki adalah perkara yang disepakati, tidak ada yang melarangnya (kecuali di saat ihram), perbedaannya seputar wajib dan mustahab. Maka dengan menutup seluruh tubuh, berarti suatu upaya menghindari perselisihan dan berlepas dari yang mewajibkannya (selama tidak mengingkari pendapat lain), maka yang demikian ini adalah lebih utama.


[1]Ibnu Hazm al-Andalusi adh-Dha>hiri (wafat 456 H), Muratib al-Ijma’ , (Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt), Jilid 1, Hal. 29
[2]Lajnah al-Ulama Nidham ad-Din, Al Fatawa al-Hindiyyah, (Da>r al-Fikr, tt) Cet. Ke-2, Jilid1, Hal. 58.
[3]Abu Bakar ar-Razi> al-Jashshash, Ahkam al-Quran, (Beirut : Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), Cet. Ke-1, Jilid 3Hal. 485.
[4]Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Alisy al-Maliki, Op. Cit.
[5]Muhammad bin Ahmad asy-Syarakhsyi, Al-Mabsuth, (Beirut : Da>r al-Ma’rifah, 1993), Jilid 10, Hal. 153. Lihat juga Bada`i’u ash-Shana`i’, Jilid 5, Hal. 121-122 dan Fath al-Qadi>r , Jilid 10, Hal. 24.
[6]Muhammad bin Ahmad ad-Dasuqi> al-Maliki, Op. Cit, Jilid 1, Hal. 215. Lihat juga Syarh al-Khurasyi, Jilid 1, Hal. 247 dan Minahul Jalil Jilid 1, Hal. 222.
[7]Muhammad bin Ahmad asy-Syarbi>ni> asy-Syafi>’i>, Mughniy al-Muhtaj ila> Ma’rifati Ma’ani Alfa>dz al-Minha>j, (Beirut : Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), Cet. Ke-1, Jilid 4, Hal. 208-209. Lihat juga Asna al-Muthalib , Jilid 3, Hal. 109-110 dan  Nihayat al-Muhtaj , Jilid 6, Hal. 157-158)
[8]Manshu>r bin Yunu>s al-Bahuti> al-Hambali> (wafat 1051 H), Syarh Muntaha> al-Ira>dat, (‘A<lam al-Kutub, 1993), Cet. K3-1, Jilid 5, Hal. 18. Lihat juga Al-Inshaf , Jilid 8, Hal. 28, Al-Furu’, Jilid 5, Hal. 154.
[9]Abu Bakar bin Mas’ud al-Ka>sa>ni> al-Hanafi> (wafat 587 H), Bada`i’ ash-Shana`i’ fi> tarti>b asy-Syara’`i', (Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986), Cet. Ke-2, Jilid 5, Hal. 122.
[10]Manshu>r bin Yunu>s al-Bahuti> al-Hambali>, Kisyaf al-Qina’, Op.Cit.
[11]Ahmad bin Abd al-Hali>m bin Taimiyyah al-Hira>ni> (wafat 728 H), Majmu’ Al Fatawa, (al-Madi>nah an-Nabawiyyah, 1995), Jilid 22, Hal110-111.
[12] Muhammad Ali ash-Shabu>ni>, Rawa``i'u al-Bayan Tafsi>r Ayat al-Ahka>m min al-Quran, (Jakarta : Da>r al-Kutub al-Islamiyyah, 2001), Cet. Ke-1, Jilid 2, Hal. 124.
[13]Ibnu ‘Atiyah al-Andalusi> (wafat 542 H), al-Muharrar al-Waji>z Fi> Tafsi>ri al-Kitab al-Aziz, (Beirut : Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, tt) Cet. Ke-1, Jilid 11, Hal 295.
[14] Abu Bakar bin Mas’ud al-Ka>sa>ni> al-Hanafi, Op. Cit, Jilid 5, Hal.123.
[15] Komentar dari Ibnu Dawud sendiri tentang hadits ini: “Hadits ini mursal, karena Khalid bin Duraik tidak pernah bertemu dengan Aisyah. (Sunan Abi Dawud, Jilid 4, Hal.106), begitu juga para pakar hadits yang lain mengatakan demikian, diantaranya Al-Mazi dalam Tahdzi>b al-Kama>l, Jilid 8, Hal. 54, Adz Dzhabi dalam Miza>n al-I’tida>l , Jilid 2, Hal. 410, Ibnu Hajar Dalam Tahdzi>b at-Tahdzi>b, Jilid 3, Hal. 75.
[16] Ibnu Hajar al-‘Asqala>ni> (wafat 852 H), Taqri>b at-Tahdzi>b, (Syria: Da>r ar-Rasyi>d, 1986), Cet. ke-1, Jilid 1, Hal. 234, Lihat juga Tahdzi>b al-Kama>l, Jilid 10, Hal. 348, Tahdzi>b at-Tahdzi>b, Jilid 4, Hal. 9, Miza>n al I’tida>l, Jilid 3, Hal. 189.
[17] Ibnu az-Zaki> al-Kalabi> al-Mazi> (wafat 742 H), Tahdzi>b al-Kama>l fi> asma’ ar-Rija>l, (Beirut : Mu’assasah ar-Risa>lah, 1980), Cet. Ke-1, Jilid 23, hal. 493. Lihat juga Jami’ at-Tahsi>l, Jilid 1, Hal. 254, Miza>n al-I’tida>l, Jilid 5, Hal. 466, dan Thabaqa>t al-Mudallisi>n oleh Ibnu Hajar, Jilid 1, Hal. 43.
[18] Ibnu Hajar al-‘Asqala>ni> (wafat 852 H), Thabaqa>t al-Mudallisi>n, (Oman : Maktabah al-Mana>r, 1983), Cet. Ke-1, Jilid 1, Hal. 51. Lihat juga Tahdzi>b al-Kama>l, Jilid 31, Hal. 85, Jami’ at-Tahsi>l, Jilid 1, Hal. 111 dan  Miza>n al-I’tida> , Jilid 7, Hal. 441.
[19]Ibnu Qudamah al-Muqaddasi> al-Hambali (wafat 620 H), Al-Mughni> fi> Fiqh al-Ima>m Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani , (Maktabah al-Qahirah, 1968), Jjilid 7, Hal. 460,
[20]Syekh Ali Ash-Shabuniy, Op. Cit, Jilid 1, Hal. 130  
[21] Muhammad bin Ahmad asy-Syarakhsyi, Op. Cit. Jilid 10, Hal. 153.
[22] Muhammad al-Ami>n asy-Syinqiti> (wafat 1393), Adhwa` al-Baya>n fi> Idha>h al-Quran bi al-Quran, (Beirut : Da>r al-Fikr, 1995), Jilid 6, Hal. 598.
[23] Ibnu Qudamah al-Muqaddasi> al-Hambali, Op. Cit, Jilid 7, Hal. 78.
[24] Muhammad al-Ami>n asy-Syinqiti, Op. Cit, Jilid 6, Hal. 599.
[25] Ibnu Hazm al-Andalusi> adh-Dhahiri> (wafat 456 H), Al-Muhalla> bi al-Atsa>r, (Beirut : Da>r al-Fikr,), Jilid 2, Hal. 248.
[26] Muhammad al-Ami>n asy-Syinqiti, Op. Cit, Jilid 6, Hal. 254-255.
[27] Muhammad bin Ahmad asy-Syarakhsyi, Op. Cit. Jilid 10, Hal. 153. Lihat juga Tabyin al-Haqa’iq, Jilid 1, Hal. 95-96, Bada`I’ ash-Shana`I, Jilid 5, Hal. 123.
[28] Abu Bakar bin Mas’ud al-Ka>sa>ni> al-Hanafi, Op. Cit, Jilid 5, Hal.123.
[29] Ibid.
[30]Ibid.
[31] Muhammad bin Ahmad asy-Syarakhsyi, Op. Cit. Jilid 10, Hal. 153.
[32]Abu Bakar bin Mas’ud al-Ka>sa>ni> al-Hanafi, Op. Cit, Jilid 5, Hal.123.
[33] Muhammad bin Ahmad asy-Syarbi>ni> asy-Syafi>’i>, Op.Cit. Lihat juga Asna al-Muthalib , Jilid 3, Hal. 109-110 dan  Nihayat al-Muhtaj , Jilid 6, Hal. 187-188
[34]Manshu>r bin Yunu>s al-Bahuti> al-Hambali> (wafat 1051 H), Kisyaf al-Qina’ ‘an matn al-Iqna’, Op.Cit, Jilid 1, Hal.266. Lihat juga Al-Insha>f, Jilid 1, Hal. 452 dan Al-Furu’, Jilid 1, Hal. 601-602
[35]Al Jalabib adalah jama’ dari jilbab, yaitu kain yang lebih besar dari tudung kepala, diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu mas’ud, bahwa jilbab adalah ar-rida’ (selubung), dikatakan bahwa jilbab adalah cadar. Yang shahih, jilbab adalah kain yang menutup seluruh badan, (Tafsir Al Qurthubi), Mayoritas ahli tafsir mengatakan bahwa cara mengulurkan jibab disini adalah dengan menutup seluruh tubuh, termasuk juga wajah. (Lihat tafsir ayat ini pada Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Jalalain, Tafsir al-Baidhawi, dll). Menurut penulis penafsiran mereka dikuatkan dengan hadits dari Aisyah Ra.ha: “Para pengendara kendaraan biasa melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka jika mereka mendekati kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya pada wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, kamipun membukanya lagi…”.
[36] Ibnu Jari>r ath-Thabari> (wafat 310 H), Op. Cit, Jilid 22, Hal. 45-46.
[37] Abu Bakar ar-Razi> al-Jashshash, Op. Cit, Jilid 3, Hal. 372, disebutkan juga dalam tafsir lain dengan makna yang sama, diantaranya: Ibnu al-Jauzi dalam Zadul Muyassar, Abu Hayyan dalam al-Bahru al-Muhith, As-Suddiy, Abu as-Sa’ud dalam tafsirnya, Tafsir al-Jalalain, dll.
[38] Ibnu al-‘Arabi al-Maliki>, Ahkam al-Quran, (Beirut : Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003), Cet. Ke-3, Jilid 3, Hal. 625.
[39] Muhammad al-Ami>n asy-Syinqiti, Op. Cit, Jilid 6, Hal. 586
[40] Abd al-Muhsin al-‘Ibad, Syarh Sunan Abi Dawud, Jilid 23, Hal. 142.
[41]Ibnu Katsir, Op. Cit, Jilid 6, Hal. 45
[42] Muhammad al-Ami>n asy-Syinqiti, Op. Cit, Jilid 6, Hal. 594.
[43] Ibnu Hajar al-‘Asqla>ni> asy-Sya>fi’i> (wafat 852 H), Fath al-Bari> Syarh Shahi>h al-Bukhari>, (Beirut : Da>r al-Ma’rifah, tt), Jilid 8, Hal. 490.
[44] Abu Bakar ar-Razi> al-Jashshash, Op. Cit, Jilid 3, Hal. 543.
[45] Zakariya al-Anshari> (wafat 926 H), Asna> al-Matha>lib fi> Syarh Raudh ath-Tha>lib, (Da>r al-Kita>b al-Islami>, tt), Jilid 3, Hal. 103.
[46] Muhammad al-Ami>n asy-Syinqiti, Op. Cit, Jilid 6, Hal. 589.
[47] Ibnu Katsir, Op. Cit., Jilid 3, Hal. 507.
[48] Ibnu Taimiyyah, Op. Cit, Jilid 15, Hal. 370-371
[49] Ibnu Hajar al-‘Asqala>ni> (wafat 852 H), Taqri>b at-Tahdzi>b, Op. Cit, Jilid 1, Hal. 601.
[50] Ibnu Qudamah al-Muqaddasi> al-Hambali, Op. Cit, Jilid 3, Hal. 154.
[51] Abdullah bin Sa’id Muhammad ‘Ibadi al-Hadramiy, Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, (Al-Haramain, tt), Jilid 1, Hal. 79
[52]Abu Zakariya An-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Shahi>h Muslim bin Hajjaj, (Beirut: Da>r Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 1392 H), Cet. Ke-2, Jilid 17, Hal. 116-117, lihat juga ‘Umdah al Qari Syarh Shahih al-Bukhari,> Jilid 13, Hal. 235.
[53] Abu Hami>dAl Ghazali> (wafat 505 H), Ihya’ ‘Ulumiddin, (Beirut : Da>r al-Ma’rifah, tt) Jilid 2, Hal. 47
[54] Ibnu Hajar al-‘Asqla>ni> asy-Sya>fi’i> (wafat 852 H), Fath al-Bari> Syarh Shahi>h al-Bukhari>, Op. Cit, Jilid 9, Hal. 337
[55] Ibid, Jilid 9, Hal. 324
[56] Ibnu Hajar al-Haitami>, Tuhfat al-Muhtaj fi> Syarh al-Minhaj, Op. Cit, jilid 7, Hal. 194
[57] Abdullah bin Sa’id Muhammad ‘Ibadi al-Hadramiy, Op. Cit, Jilid 1, Hal. 89
[58] Ibid, Hal. 53
[59] Ibid, Hal. 54.
[60] Ibid, Hal. 67.

0 komentar:

Post a Comment