Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Thursday 26 September 2013

Contoh Hadits Palsu


Fenomena hadits-hadits Ramadhan menarik untuk kita cermati & ditelaah, sebagai contoh hadits yang selalu menjadi menu masyarakat di awal Ramadhan.
مَنْ فَرِحَ بِدُخُولِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى الِّنيْرَانِ.
“Barangsiapa senang dengan masuknya bulan Ramadhan, maka Allah Ta’ala mengharamkan jasadnya bagi neraka”
Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA, dalam bukunya yang bertajuk Hadits-Hadits Lemah dan Palsu Dalam Kitab Durratun Nasihin (Keutamaan Bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan) dari Desertasi Doktor pada Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) menjelaskan mengenai status hadits ini.
Takhrij Hadits: Hadits ini belum dapat ditemukan perawinya di semua kitab yang telah dijadikan rujukan tesis ini. Al-Khubawi secara zhahirnya tidak menyebutkan sumbernya. (Al-Khubawi, Durrat an-Nasihin, hlm. 7).
Hukum Hadits: Maudhu’ / Palsu.

Saturday 21 September 2013

Bolehnya Beramal dengan Hadits Dha’if


A.    Pengertian Hadits Dha’if
Dha’if secara bahasa berarti lemah, lawan dari kuat. Sedangkan secara istilah adalah hadits yang tidak memenuhi kriteria yang terdapat dalam hadits shahih maupun hadits hasan.
Hadits dha’if adalah hadits yang lemah yang disebabkan tidak memenuhi salah satu atau lebih syarat-syarat yang terdapat pada hadits shahih atau hadits hasan. Di antara yang menyebabkan hadits tersebut tidak memenuhi syarat yang terdapat dalam hadits shahih ataupun hasan adalah karena:
1.      Terputus sanadnya.
2.      Terdapat di antara perawinya seorang yang tidak adil, maksudnya adalah perawi tersebut dikatakan adil apabila ia seorang muslim, baligh, berakal, tidak fasiq dan tidak tercemar muru’ahnya.
3.      Terdapat juga di antara perawi hadits tersebut yang lemah ingatannya.
4.      Adanya syadz (keganjilan atau sesuatu yang menyebabkan hadits tersebut menjadi meragukan)
5.      Terdapat illat (kecacatan) pada hadits tersebut.

Artikel : Kajian Fiqh Sirah


Bolehnya Berijtihad Dalam Masalah Furu’
Dan Kemungkinan Terjadinya Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf)
عن ابن عمر قال : قال النبي صلى الله عليه و سلم لنا لما رجع من الأحزاب ( لا يصلين أحد العصر إلا في بني قريظة ) فأدرك بعضهم العصر في الطريق فقال بعضهم لا نصلي حتى نأتيها وقال بعضهم بل نصلي لم يرد منا ذلك فذكر للنبي صلى الله عليه و سلم فلم يعنف واحدا منهم (رواه البخاري)
“Dari Ibnu Umar ra berkata: Rasulullah saw bersabda kepada kami ketika kembali dari pasukan sekutu : “janganlah ada seorangpun yang shalat ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraidhah”. Maka sebagian mereka menemui waktu ashar ketika masih dalam perjalanan, sebagian berkata : “Kami tidak akan shalat sehingga kami sampai di sana”. Sebagian yang lain berkata : “Kami tetap akan shalat, karena nabi tidak menghendaki dari kita seperti itu”. Kemudian kejadian itu dilaporkan kepada Nabi Saw tetapi beliau tidak mengecam atau menegur seorangpun di antara mereka.” (HR Bukhari)

Tidak ada seorang pun yang ditegur atau disalahkan oleh Nabi saw merupakan dalil penting bagi salah satu prinsip syariat yang agung ini. Yaitu ketetapan prinsip perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ dengan menganggap masing-masing dari kedua belah pihak yang berselisih pendapat mendapatkan pahala dan dimaafkan. Baik kita katakan bahwa pihak yang benar itu hanya satu maupun lebih, sebagaimana ia juga menyimpulkan prinsip ijtihad dalam menyimpulkan hukum-hukum syari’at. Di samping itu, peristiwa ini menunjukkan bahwa menuntaskan perselisihan dalam masalah-masalah furu’ yang timbul dari dalil-dalil dzanni adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena Allah memberikan taklif kepada hamba-Nya dengan dua macam taklif

Al Wala’ dan Al Bara’


A.    Pengertian Al Wala’ dan Al Bara’
Al Wala’ secara bahasa berarti loyal atau dekat. Al Wala yang dimaksudkan di sini adalah loyal dan dekat terhadap kaum muslimin, saling bantu membantu kepada mereka, saling tolong menolong dalam menghadapi musuh Islam dan bersikap lemah lembut kepada mereka.
Al Bara’ secara bahasa adalah memutus atau berlepas diri. Al Bara’ yang dimaksudkan di sini adalah memutus hubungan dengan orang-orang kafir, tidak mencintai mereka dan menolong mereka, bahkan tidak tinggal di daerah mereka kecuali dalam keadaan darurat.

B.     Al Wala’ dan Al Bara’ adalah Bagian dari Hak-Hak Tauhid
Seorang muslim wajib bersikap loyal, memusuhi, mencintai dan membenci, semua itu harus karena Allah. Sehingga ia harus bersikap loyal terhadap kaum muslimin dan menolong mereka, sebaliknya ia juga harus bersikap saling memusuhi terhadap orang-orang kafir dan membenci mereka.