Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Sunday 22 February 2015

Syekh H. M. Nur Kemuning 2

SYEKH H. MOHAMMAD NOER : Kiai Musafir Pendulang Ilmu 
Biografi Bagian - 2




      Pada tahun 1903 Syekh Mohammad Noer berangkat menunaikan Rukun Islam yang ke-5 ke Tanah Suci. Selama berada di tanah haram itu beliau berbaiat Tarekat Ghozaliyyah di Jabal Qubais Mekkah sebagaimana kisah sebagai berikut :
Ketika beliau berada di Masjidil Haram Mekkah, dengan niat taubat, bermunajatlah di bawah talang emas memohon ampun kepada Allah SWT, agar diampuni semua dosa-dosanya. Di antara sahur dan sepertiga malam pada hari Kamis, tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh dari talang emas tersebut. Wujudnya seperti kendi kencana yang langsung diterima dengan kedua tangan beliau, hingga kemudian kendi kencana itu pecah.
Selanjutnya pada malam Jum'at tiba-tiba ada seorang yang keluar dari makam Nabi Ibrahim AS yang kelihatan sangat putih, berbau harum semerbak, Lelaki itu berjenggot putih itupun datang kepada beliau memberikan sebilah pisau cukur yang sangat tajam.
    Sepulang dari Tanah Suci Syekh Haji Mohammad Noer akhirnya dikenal dan dipanggil dengan nama "Romo Yai Haji Mohammad Noer" (sebelumnya nama beliau adalah Kiai Abubakar). Aktivitas beliau kembali mengajar kitab kuning kepada para santrinya sebagaimana biasanya. Selain itu diajarkan pula terbangan (seni hadrah) dengan lantunan shalawat yang amat terkenal di Desa Kemuningsari Lor dan desa sekitarnya.
      Ada sebuah kisah yang terjadi pada tahun 1910 di mana group hadrah yang dipimpin beliau mendapat undangan ke Desa Badean. Beliau hadir bersama dengan rombongan terbangan dari Desa Kaliwining Kecamatan Rambipuji. Pada saat rombongan beliau datang, ada sikap arogan dan terkesan meremehkan pada group terbangan beliau. Keanehan terjadi, pada saat terbangan dari Kaliwining itu tampil untuk beraksi, tidak terdengar bunyi atau suara sama sekali sampai akhir acara.
      Semenjak peristiwa itu beliau merasa bersalah dan berdosa karena masih memiliki hati yang tidak bersih, riya' dan jumawa. Untuk itu beliau berniat untuk melakukan taubat nasuha, guna membersihkan hati yang kotor. Kemudian beliau mengumpulkan semua anak, cucu dan para menantunya guna menyampaikan suatu wasiat dan melimpahkan tugas-tugas ke depan, sekalian berpamitan bahwa akan melaksanakan kholwah suluk mujahadah dalam rangka taubat nasuha itu.
Sebagaimana dikisahkan sebelumnya, sepulang dari pertemuan di Desa Badean dalam acara atraksi terbangan (hadrah), Syekh Mohammad Noer merasa dirinya mempunyai hati yang tidak bersih. Maka beliau berkeinginan untuk membersihkan hatinya dengan melakukan taubat nasuha dengan melaksanakan Kholwah Suluk Mujahadah.
Kholwah artinya menyendiri, sedangkan suluk berarti menempuh jalan (tarekat) dan mujahadah artinya bersungguh-sungguh. Maka artinya secara keseluruhan adalah "melakukan ibadah lahir bathin untuk menyingkirkan (mengosongkan) sifat madzmumah (sifat tercela) lahir batin menuju sifat mahmudah (sifat terpuji) lahir dan bathin pula.
      Agar keinginan kholwah suluk mujahadah itu dapat dengan segera dilaksanakan, maka pada tahun 1910 sesudah melaksanakan sholat Isya', Syekh Haji Mohammad Noer mengumpulkan semua keluarga dan menantunya untuk menyampaikan maksud dan keinginannya dan sekaligus mengatur pembagian tugas selama beliau melaksanakan tugas.
Karena anak laki-lakinya masih kecil, maka tugas-tugas itu dilimpahkan kepada anak-anak menantunya yaitu KH. Shiddiq diberi tugas mengatur dan mengajar para santri. Kiai Shoheh Abu Solehan diberi tugas untuk menerima tamu pada siang hari. KH. Abdul Hamid diberi wewenang untuk menerima tamu pada malam hari, Kiai Abdurrohim mendapat tugas menangani pertanian. Sedangkan Abdul Karim mendapat tugas mengatur kebutuhan rumah tangga keluarga, tamu dan para pekerja di sawah. Lalu Kiai Nawawi diberi tugas untuk membantu KH. Shiddiq mengatur dan mengajar para santri.
     Setelah niatan dari beliau disampaikan dengan jelas dan gamblang, maka kemudian menyerahkan sejumlah uang kepada Abdul Karim agar dimanfaatkan sebagai dana untuk persiapan membiayai kebutuhan belanja sehari-hari keluarga, para pekerja di sawah dan para tamu. Selain itu beliau juga menyerahkan uang untuk biaya naik haji 6 (enam) orang menantunya, apabila dalam tugasnya nanti sewaktu-waktu beliau dipanggil oleh Allah SWT. Namun apabila nanti ternyata beliau masih diberi kesempatan hidup, maka akan ikut membantu dan mengatasi urusan para menantunya.
Selanjutnya beliau berpamitan pada keluarga untuk melaksanakan kholwah suluk mujahadah selama 9 (sembilan) tahun yang dimulai pada tahun 1910 sampai dengan tahun 1919. Dalam melaksanakan "ritual" tersebut beliau berpegang pada dasar Al-Qur'an dan Hadits Nabi SAW serta Kitab Fiqih, Kitab Tasawwuf dengan pedoman Kitab Ihya' Ulumiddin karya Imam Al-Ghozali, Kitab Al-Hikam karya Syekh Akhmad Ibnu 'Athaaillah dan Kitab Minhajjul 'Abidin karya Imam Al-Ghozali
      Kegiatan ibadah itu dilaksanakan di salah satu kamar rumah di dalam, hal itu berdasarkan pada kelampahan atau perjalanan yang pernah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW. Mengenai sholat sunnah dilaksanakan di suatu tempat saja di dalam rumah berbeda dengan sholat fardhu yang senantiasa tetap dilaksanakan di masjid pondok secara berjamaah pada awal waktu sholat.
Suluk pertama dilaksanakan selama 6 (enam) tahun yang disebut dengan nama suluk abraar. Selama melaksanakan suluk ini, beliau melaksanakan sholat sunnah, dzikir di dalam satu kamar rumah. Sedangkan sholat fardhu dilaksanakan beliau dilaksanakan di masjid dengan berjamaah di awal waktu.
     Dalam rangka melaksanakan kholwah suluk abraar, beliau telah membulatkan hatinya semata-mata karena iman kepada Allah dengan penuh keyakinan siang dan malam, melaksanakan taubat nasuha, meninggalkan hal-hal yang bersifat keduniawian dan melasanakan pengabdian kepada Allah dengan menjauhi segala larangan-Nya.
Tahapan-tahapan untuk melaksanakan suluk mujahadah adalah tabarruk dengan melalui dua tahapan. Pertama selama 6 (enam) tahun yang disebut suluk abraar  yaitu suluk irodah dan hidayah. Kedua yang disebut dengan suluk muqarrobin.
     Suluk Pertama. Menurut penjelasan dari Kiai Abdul Hadi H. Shiratol Mustaqim dari Desa Curah Bamban Kecamatan Tanggul yang merupakan karib Syekh Haji Mohammad Noer, di dalam Kitab Fathul Arifina Billah, bahwa tarekat yang digunakan dan dilaksanakan beliau dalam Suluk Mujahadah itu adalah tabarruk yaitu mengambil dalam kitab fiqih dan tasawwuf.
Selama menjalankan kholwah 6 (enam) tahun itu beliau tidak pernah batal wudlu dan apabila hadats, beliau segera mengambil air wudlu dan hal ini selalu dilakukan secara terus menerus.
Beliau bermaksud melakukan taubah nasuha kepada Allah SWT, serta menghilangkan angan-angan dan pikiran tentang keduniawian dan hanya beribadah semata-mata karena Allah dengan menjauhi semua larangan-Nya. Selama kholwah beliau melakukan beberapa hal di antaranya sedikit bicara dan berbicara seperlunya atau yang fardhu. Makan sedikit yaitu sehari semalam hanya satu lepek (piring kecil) nasi dan minum satu sendok. Sedikit tidur hanya sebentar dalam sehari semalam hanya satu jam, menyendiri dalam satu kamar tanpa ada siapapun. 
      Adapun amalan yang dilaksanakan dalam yang menjalankan kholwah ma’al uzlah yaitu dengan membaca istighfar untuk memohon ampun kepada Allah, membaca sholawat kepada Nabi SAW, membaca naïf isbat atau tahlil  meng-Esakan Allah Robbul ‘ Alamin dan menyebut asma Allah SWT.
     Semenjak masih kanak-kanak beliau sudah terbiasa mengamalkan dzikir ismudzat secara istiqomah dan dalam suluk ini dzikir beliau tidak menggunakan ‘ilmu lathoif karena ittiba’ Rasulullah SAW.
Syekh Haji Mohammad Noer menyatakan bahwa uqbah yang pertama merupakan syarat sahnya suatu suluk dan tarekat apapun yang tidak dapat memenuhi syarat dasar tersebut tidak akan diterima oleh Allah SWT, misalnya dalam melaksanakan suluk hanya ingin dibuka pintu ma’rifat (mukasyafah), jelas tidak akan diterima karena suluk yang dilakukan itu bukan karena Allah.
    Selanjutnya beliau mengatakan apabila uqbah awal telah dilaksanakan dengan benar, kemudian ditambah dengan uqbah yang kedua selama 40 hari, maka Insya Allah terlihatlah dunia dengan segala isinya, tumbuhan, dedaunan, tanah, pasir, batu, kerikil dan hewan. Semua bias dimengerti bunyi isyarat bahasanya dan kemauannya. Pada tahap ini orang kebanyakan sudah tertipu dan berhenti melaksanakan suluk, karena merasa sudah berada di puncak.
Kemudian membuka rahasia-rahasia apa yang telah diketahuinya kepada orang lain, padahal yang demikian itu berarti tidak mengindahkan sabda Rasulullah SAW dalam sebuah Kitab Syekh Abu Hamid Al-Ghozali yaitu “Membongkar kerahasiaan Allah adalah kafir”
      Dalam suluk abraar ini Syekh Haji Mohammad Noer mengerjakan sholat sunnah dalam sehari semalam sebanyak 1000 (seribu) raka’at dan dzikir sebanyak 70.000 (tujuh puluh ribu) kali. Setelah mencapai 9 (sembilan) bulan kulit dahi beliau menebal (jawa ; kapalan) dan menghitam. Akibatnya beliau khawatir menimbulkan sifat riya’ (sombong). Maka sholat sunnahnya dikurangi menjadi 300 raka’at dalam sehari semalam, namun dzikir ditambah menjadi 90.000 (sembilan puluh ribu) kali.
      Setelah genap 6 (enam) tahun, menjelang sholat Syekh Haji Mohammad Noer kedatangan 2 (dua) orang tamu dari arah barat daya yang berpakaian jubah serba putih mengaku bernama Haji Abdullah yang berbadan tinggi besar dan Haji Abdurrahman yang berbadan pendek dan kecil.
Kedua tamu tersebut masuk ke dalam kamar kholwah, namun kehadiran kedua tamu tersebut tidak ada seorangpun yang tahu kecuali beliau sendiri. Beliau mengatakan kepada sebagian santri bahwa orang yang dating itu seperti Nabi Khidir AS dan Nabi Ilyas AS.
Dalam melaksanakan suluk mujahadah selama 6 (enam) tahun ini terbukalah kalam nafsi yaitu tampaklah dunia beserta isinya.
Suluk Kedua. Suluk kedua ini dilaksanakan selama 3 (tiga) tahun yang dinamakan dengan suluk muqarrobin. Selanjutnya Syekh Haji Mohammad Noer mengatakan kepada anak cucu dan menantunya, “apa salahnya jika aku meneruskan mujahadah”.
Kemudian beliau meneruskan dan meningkatkan dari uqbah yang kedua, ketiga dan keempat yaitu banyak diam tidak banyak berbicara, tetap berada dalam kamar rumah tidak bebergian, rela meningggalkan makan artinya tidak makidak makan dan minum, menjalankan suluk mujahadah tidak membatasi waktu bahkan sampai mati.
    Dalam melaksanakan suluk mujahadah tahap kedua, yang dilaksanakan selama 3 (tiga) tahun itu, Syekh Haji Muhammad Noer juga berpedoman kepada Kitab Minhajjul Abidin, di mana harus mampu melaksanakan mati abang dengan menghindari hawa nafsu atau tidak melayani kehendak hawa nafsu, mati putih yaitu mampu menahan lapar dengan memilih makanan halal, mati ijo dengan menghilangkan sifat ujub, riya’, sum’ah, takabbur serta menghilangkan sifat cinta dunia, pangkat dan harta. Kemudian mati ireng tidak marah dengan mengeluarkan cacian dan tidak bangga dengan pujian.
Dalam suluk muqarrobin dzikir yang dilaksanakan sehari semalam sebanyak 70.000 (tujuh puluh ribu) kali dan sholat sunnahnya sebanyak 300 (tiga ratus) rakaat.
     Ketika mencapai 3 (tiga)  tahun kurang 7 (tujuh) hari dzikir ditingkatkan dalam sehari semalam menjadi 124.000 (seratus dua puluh empat ribu) kali. Setelah 7 (tujuh) hari kemudian genaplah sudah 9 (sembilan) tahun tahun pelaksanaan suluk mujahadah. Hari itu  tepatnya Jum’at tanggal 26 Maulid tahun 1340 Hijriah atau tahun 1919 Masehi pada jam 14.00 WIB, Syekh Haji Mohammad Noer terlihat seperti orang yang sudah wafat. Namun setelah diteliti denyut nadinya oleh Kiai Shoheh Abu Solehan (menantunya) ternyata pada kaki beliau masih ada getaran denyut nadinya.
Dua tahun telah berlalu, sejak terbukanya pintu mukasyafah, alkisah datanglah seorang tamu yang aneh tingkah lakunya dan tidak seperti orang biasanya. Sesampai di halaman rumah tamu itu bertanya kepada Kiai Shoheh Abu Solehan yang ketika itu berjaga di situ.
     “Gus, apakah bisa kami menjumpai Romo Kiai ?” Tanya tamu tersebut.
     “Bisa saja”, jawab Kiai Shoheh.
   Ketika tamu tersebut akan masuk ke rumah, Ia memanggil-manggil Kiai Shoheh Abu Solehan sambil menunjuk ke atas dan berkata ;
     “Gus, ini koq ada kelapa yang sama-sama tumbuh di janjangannya (tangkainya)” kata tamu tersebut.
       Lalu Kiai Shoheh melihat apa yang dikatakan tamunya, ternyata memang betul kelapa satu janjang itu tumbuh sangat lebat di atas. Padahal kemarinnya tidak ada sama sekali.
     “Gus, ambilkan saya satu buah saja untuk jimat !”
     “Iya, Tuan !” jawab Kiai Shoheh Abu Solehan
      Kemudian Kiai Shoheh menyempatkan bertanya kepada tamunya.
     “Sampean berasal darimana ?”
     “Saya Kanjeng Adipati Bangil” katanya dengan tegas.
  “Tumbuhnya kelapa ini merupakan tanda-tanda karomahnya Romo Kiai Syekh Haji Mohammad Noer, dan saya wajib mengikutinya” kata Adipati Bangil itu katanya lagi dengan meyakinkan.
   Sebenarnya Kiai Shoheh Abu Sholehan sudah sangat faham kalau mertuanya itu sesungguhnya sudah sampai pada derajat auliya’ illah, namun beliau belum berani menyebut dan mengatakan wali quthub.
   Dua tahun telah berlalu mulailah beliau kembali mengajar para santrinya lagi, yang dilaksanakan setelah sholat shubuh. Kitab-kitab yang diajarkan antara lain Kitab Ihya’ Ulumiddin, Kitab Fathul Uluhiyyah, Kitab Insan Kamil, Kitab Jami’u Ushulil Auliya’, Kitab Tafsir dan Kitab Al-Hikam. Namun cara mengajarnya kini sudah berbeda dari sebelum mujahadah dibuka. Murodnya (penjelasan) sudah disampaikan terlebih dahulu dan setelah dibuka kitabnya sangat cocok dengan apa yang telah disampaikan itu. Dan tatkala kitabnya dibuka hanya lafalnya saja dengan mengatakan ;
       “Ulama utara, ulama barat, ulama timur, ulama selatan, ulama atas, ulama bawah dunia akhirat semua datanglah ke sini. Semua saya ajari tentang ma’rifat, kalau sudah bisa  cobalah berkata seperti saya” katanya.
Beliau tidak pernah mengatakan atau mengakui dengan langsung bahwa dirinya adalah seorang auliya’ tapi hanya mengatakan kepada Kiai Shoheh Abu Solehan sebagai menantunya. Syekh Haji Mohammad Noer pernah mengatakan begini ;
      “Anak menantuku, bagaimana orang ma’rifat kepada Allah itu ?” maka jawab Kiai Shoheh Abu Solehan.
      "Orang ma'rifat kepada Allah itu seperti saya melihat matahari, sedangkan besarnya matahari 160 kali besar bumi yang seperti berada dalam mata saya". Begitu juga orang yang ma'rifat kepada Allah, mata hatinya sudah muat dan mampu untuk melihat Dzat Allah". Katanya dengan mantap.
Kiai Shoheh Abu Solehan disebut-sebut sebagai sahabat nomor satu dari beliau, keluasan ilmunya juga dapat dipandang hampir sepadan dengan beliau.
Selanjutnya dikatakan oleh beliau, "sebelum saya terbuka tentang  ma'rifat  kepada Allah, tiap-tiap benda yang samar akan tampak kelihatan dan mengaku sendiri namanya seperti waktu sholat Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya', Subuh dan seterusnya".
Selanjutnya dikatakan bahwa emas, intan berlian yang bertaburan tetap tidak saya toleh atau tidak peduli karena kalau dilihat maka akan batal (gugurIah) mujahadah yang saya jalani. Semua itu merupakan godaaan dalam melaksanakan ibadah tersebut. Bersambung.

Disusun oleh : Zainollah, S.Pd (Koordinator Forkom Bhattara Saptaprabhu)   

Syekh H. M. Nur Kemuning 3

  SYEKH H. MOHAMMAD NOER : 9 Tahun Melakukan " Kholwah Suluk Mujahadah" 
Biografi Bagian - 3

Ada lagi hal aneh yang beliau katakan, yaitu tatkala dzikir setiap masuk keluarnya nafas dalam sehari semalam sebanyak 124.000 selama 7 (tujuh) hari, dan tidak tahu pasti entah kalimah yang mana. Terus beliau berjalan melalui alam mulki, alam malakut, alam jabarut, alam barzakh, alam akhirat, dan alam amar, yang kala itu waktu pingsan. Lalu para santri yang alim-alim bersama membuka kitab tasawwuf tentang mujahadah sampai mencapai tingkatan ‘auliya’, lalu dicocokkan dengan perjalanan wali quthub yang terdahulu. Tapi karena belum ada saksi (syahid) yang mengetahui, maka para sahabat dan santri belum berani mengatakan jika Syekh Haji Mohammad Noer sudah mencapai derajat Wali Quthub.
       Syekh Haji Mohammad Noer telah melaksanakan suluk kholwah mujahadah selama 9 (sembilan) tahun. Tepatnya pada hari Jum’at tanggal 26 Maulid tahun 1339 Hijriyah (tahun 1919), beliau mengalami pingsan selama 1 jam 45 menit. Inilah yang dinamakan wushul (sampai) kepada Robbul ‘Izzati yang Maha Pemenang.
Maqom seperti inilah yang dinamakan maqom ma’rifah musyahadah bil ayani, sebagaimana yang dijelaskan dalam Kitab Kifaayatul Adzkiya’ pada bait ke-8 yaitu :
     “Hakekat ialah sampainya salik kepada yang dituju dan bersaksi (melihat) akan adanya Nur Tajalli (Allah), melihatnya dengan jelas, dan itulah nikmat yang paling agung”.
       Selanjutnya dalam Kitab Al-Hikam pada halaman 74 disebutkan bahwa pingsannya beliau selama 1 jam 45 menit dinamakan “Salikina” atau “Majdubina”. Para hamba Allah SWT yang sudah wushul (sampai) kepada Allah dibagi menjadi 2 bagian.
      Pertama yang dinamakan Salikiin, yaitu ialah mereka yang mengambil dalill setelah melihat suatu kekuasaan Allah, dan mereka berkata,“Saya melihat Allah SWT sesudah saya melihat sesuatu kekuasaan Allah”.
       Kedua yang dinamakan Majdubiin, yaitu mereka yang mengambil dalil sebelum melihat sesuatu kekuasaan Allah dan mereka berkata, “Saya melihat Allah SWT sebelum saya melihat sesuatu kekuasaan Allah”.
Kemudian para ulama dan para santri yang alim-alim membuka kitab tasawwuf tentang mujahadah sampai mencapai ‘auliya. Hal itu dicocokkan dengan perjalanan Syekh Haji Mohammad Noer yang ternyata sama dengan perjalanan para auliya’ quthub yang terdahulu, tapi karena belum ada syahid (saksi yang kuat), maka para sahabat dan santrinya belum berani mengatakan jika beliau sudah mencapai derajat wali quthub.
     Para ulama yang bersangkutan memberikan klasifikasi tingkatan iman sebagai berikut :
   1. Iman orang mukmin sewaktu masih ulama yang imannya yaqiin  2. Kalau mujahadah Syekh Haji Mohammad Noer pada masa 6 (enam) tahun itu maqom muraqabah dan imannya ‘ainul yaqiin dan suluknya dinamakan Suluk Abrar. 3. Pada masa 3 (tiga) tahun disebut maqam musyahadah dan imannya haqqul yaqiin dan suluknya Suluk Muqarrobin 4. Setelah Inkisyaf namanya maqam istighraq dan imannya dinamakan haqiiqatul yaqiin. Yang dimaksud dengan istighraq fana artinya ialah telah hilang sifat madzmumah (tercela), lalu istighraq baqa’ artinya adalah telah menetapnya sifat mahmudah (terpuji) yang sudah smpai di hadapan Allah SWT karena terbawa kalimat thoyyibah. Amal sholeh telah sampai di alam amar yaitu alam yang tidak ngalaf jihat (arah) utara, barat, selatan dan timur serta seterusnya karena Allah SWT itu ngalaf arah, tidak ngalaf tempat ruang dan waktu.
Kalimat thoyyibah dan amal sholeh beliau naik dengan membawa 4 (empat) ruh sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an :
         “Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang sholeh menaikkan-Nya”.

1.      Ruh Robbani 
2.      Ruh Rohani  
3.      Ruh Idhofi  
4.      Ruh Jasmani

"Dan apabila mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah (bahwa) ruh itu termasuk
urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan (tentang ruh) melainkan sedikit “.
      Selanjutnya tidak ketinggalan Syekh Haji Mohammad Noer mengatakan kepada Kiai Abdul Hadi Shiratol Mustaqim sebagai berikut :
       “Hai, Abdul Hadi, inilah ilmu ilham, tulislah alif, dza’, dal (1 - 7- 4) dan seterusnya”. Beliau mengatakan itu jelas berada di Lauhul Mahfudz dengan memakai angka alif, dza’, dal yang mempunyai makna :
·                      1  Artinya Gusti Allah yang Maha Esa atau Tunggal.
7  Artinya sifat Allah yang ma’ani yang ada 7 (tujuh) yaitu Kodrat, Irodat, ‘Ilmu, Hayat, Sama’,   
    Bashar dan Kalam
4  Artinya fi’il Gusti Allah yang ada 4 (empat) yaitu Jisim, Jirim, Jauhar, dan ‘Arodh.
Karena Ruh Robbani-Nya beliau melihat Nur Tajalli atau Allah SWT dengan nyata, maka beliau senantiasa :
1.      Rino wengi (siang dan malam) cinta kepada Allah SWT
2.      Rino wengi (siang dan malam) senang kepada Allah SWT
3.      Rino wengi (siang dan malam) rindu kepada Allah SWT
       Ibarat orang yang layaknya bepergian yang datang membawa buah tangan, sama halnya dengan orang yang pergi menuntut ilmu tentu pulang membawa ilmu, bahkan orang yang pergi undangan walimahan (pernikahan) pulangnya membawa nasi berkat. Apalagi orang yang menghadap Yang Maha Rahman oleh-olehnya tentu sangat istimewa.
Setelah beliau wushul (sampai) pada Allah SWT Syekh Haji Mohammad Noer melaksanakan Suluk Mujahadah selama 9 (sembilan) tahun dengan oleh-oleh Ilmu Mukashafah atau Ilmu Ilham yang berupa :


13
3
3
4
3
7
3
14
4
5

15
6
15
6
4
8
4
3
30
50

       Oleh-oleh atau “berkat” tersebut merupakan tulisan dengan cara ringkas dari beratus-ratus kalimat, beribu-ribu huruf yang diringkas hanya seperti itu dan beliau mengatakan harus diamalkan dan dibaca dengan artinya sekali. Misalnya angka 3 (tiga) dibaca dengan maknanya atau 5 (lima) juga harus berbunyi 5 (lima) dengan maknanya sekali. Dan ini tugas dari yang memberi yaitu Syekh Haji Mohammad Noer, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 79 yang artinya :
       “Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”
       Adapun Ilmu Mukashafah atau Ilmu Ilham tersebut telah tersusun menjadi sebuah buku yang dinamakan “ Bait Dua Belas “. Pada setiap tahun tanggal 26 Maulid selalu diadakan peringatan turunnya karomah dan wafatnya (khoul) beliau.
       Ada sebuah kisah menarik yaitu seorang ahli wirid di Mekkah Al-Mukarromah yang bernama Sayyid Hasan. Dikisahkan tatkala beliau suntuk i’tikaf di bawah Talang Mas di Baitullah dengan memohon petunjuk kepada Allah SWT sehubungan dengan banyaknya berbagai aliran agama, dan aliran manakah yang akan diikutinya. Maka selanjutnya Sayyid Hasan bermimpi dijumpai Rasulullah SAW bersama seseorang yang mengikuti di belakangnya sampai begitu jelas rupanya, tubuhnya, pakaiannya, tempat tinggalnya, kolamnya yaitu ternyata Syekh Haji Mohammad Noer.
Lalu Rasulullah SAW berkata sambil menunjuk kepada orang yang mengikutinya.
       “Ya, ini zaman yang haq kamu ikuti, dan orang inilah yang harus kamu cari di Tanah Jawa – Indonesia”. Lalu Sayyid Hasan-pun terbangun.
Sesudah itu kemudian Sayyid Hasan bermusyawarah dengan Sayyid Abdurrahman menyampaikan tentang mimpinya yang berjumpa dengan Rasulullah SAW.
Sayyid Abdurrahman mengatakan wajib mencari dan mendatangi orang itu serta memperhatikan (ucapannya). Kemudian juga wajib pasrah kepada orang itu karena merupakan hak dari wali quthubul ghouts.
       Maka kemudian Sayyid Hasan berangkat menuju Indonesia bersama dengan Sayyid Abdurrahman. Sampai di Surabaya beliau istirahat di rumah saudaranya yang juga berasal dari Mekkah, dengan memberikan penjelasan tentang mimpinya. Sayyid Hasan juga mendengar kabar bahwa di Desa Kemuningsari Lor Panti Jember ada seorang Kiai yang baru terbuka karomah-nya. Maka Sayyid Hasan segera bergegas berangkat menuju timur ke tempat yang bernama Desa Kemuningsari Lor untuk membuktikan.
       Sampai di Desa Kemuningsari Lor, begitu masuk persis dan pas seperti apa yang tergambar dalam mimpinya ketika di bawah Talang Mas (Baitullah).
Kebetulan waktu itu Syekh Haji Mohammad Noer sedang keluar dari mesjid, lalu menengok ke arah selatan terlihatlah Sayyid Hasan dan Sayyid Abdurrahman yang sedang berada di bawah pohon mangga (kuweni) yang terletak di sebelah selatan kolam.
Kebetulan pada waktu itu di rumah beliau banyak tamu yang datang, maklumlah beliau sudah sangat kesohor di mana-mana. Bahkan banyak yang menyangka beliau adalah seorang dukun atau klenik.
Setelah kedua tamu itu sampai di muka mesjid dan beliau turun menyambut, maka kedua tamu jauh itu member salam. Beliaupun menjawab serta mengucapkan kalimat “Marhaban, marhaban bil akhissholih”. Kemudian mereka bersalaman dan sang tamu asing itu merangkul dengan akrab sambil mengatakan “Hadza maulanal waliyyus syahiiru wal quthbul kabiir”, sambil masuk ke dalam rumah.
       Dengan peristiwa itu Sayyid Hasan yang mengetahuinya dan para ulama yang bertamu di Pesantren Kemuningsari Lor juga ikut menyaksikan, maka selanjutnya para ulama dan para santri yang alim bersama-sama membuka kitab tentang auliya’. Ternyata Syekh Haji Mohammad Noer dengan memulai khalwah suluk mujahadah sama persis dengan method  para wali quthub auliya’yang terdahalu.
Kemudian para ulama yang ada di pondok berani mengatakan dan menyimpulkan hak wali quthubul ghouts, karena fenomena itu memberikan tanda dan isyarat yang tepat. Lalu para santri bersama-sama dengan berani menulis dan mengatakan quthubul ghouts.
Oleh karena itu tidak mudah mengatakan waliyullah, bahkan kalau tidak hati-hati akan menyimpang dari Kitab Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijma’ tentang auliya’.
       Juga perlu diteliti dan dicocokkan dengan asal mula orang yang sudah dikatakan sebagai wali seperti yang pernah dibahas, karena masalah turunnya kewalian seperti dalam Bait Dua Belas pada Kitab Fathul Arifina Billah menyebutkan tentang sifat-sifat auliya’ ada sebelas yaitu kekasih Allah, terpelihara dari perbuatan maksiat, berserah diri pada Allah, berbakti pada Allah dengan tidak putus-putus, memastikan akan adanya dzat Allah, tahu sifat Allah, tahu fi’il Allah, tahu nama-nama Allah, mengikuti ajaran Rasulullah, dan  semua yang terjadi di dunia diberi tahu oleh Allah.
       Setelah peristiwa kedatangan dua orang ulama dan mursyid dari Mekkah yang kemudian memberikan kesaksian, maka para alim ulama dan para santri telah berani mengambil keputusan dan kesimpulan dengan menyatakan secara tertulis bahwa Syekh Haji Mohammad Noer adalah seorang wali dengan derajat quthubul ghouts yang memperoleh karomah Bait Dua Belas.
Sehingga dengan adanya pernyataan secara terbuka inilah menyebabkan terjadinya pro dan kontra serta opini yang ditanggapi secara beragam. Ada yang mengatakan bahwa faham yang dibawa Syekh Haji Mohammad Noer adalah sesat dan dianggap kontroversial. Bahkan ada yang langsung mengikuti pengajian beliau dengan mengkaji Bait Dua Belas.   
       Adanya dua pendapat yang bertentangan dan menjurus pada polemik berkepanjangan menyebabkan perdebatan yang berujung pada ketegangan (mujadalah) termasuk di kalangan ulama sendiri. Untuk menghindari ketegangan itu dicarilah solusi yang diprakarsai oleh KH. Muzayyin Rambipuji dan KH. Wahab Hasbullah Surabaya (Pengurus PBNU) dengan mengundang dialog Syekh Haji Mohammad Noer guna mengklarifikasi (tabayyun) tentang ajarannya.
       Acara dilaksanakan pada tahun 1933 di Kantor Kawedanan Rambipuji Jember yang pada waktu itu Said Hidayat menjabat sebagai Wedana. Sidang dimulai pada pukul 08.00 pagi yang disaksikan juga oleh Kontaralir/Bupati Jember dan 173 ulama dari berbagai daerah di Pulau Jawa.
Pada pembukaan sidang yang langsung dipimpin oleh Kontaralir Jember (istilah untuk Bupati kala itu) telah disampaikan perkataan seperti berikut.
       “Saudara Kiai, anda diminta untuk menjelaskan ajaran dalam kitab Bait Dua Belas. Kalau saudara ternyata tidak mampu memberikan argumen yang bisa dipertanggungjawabkan, maka saudara tidak boleh lagi mengajarkan kitab itu, atau akan kami musnahkan”.
       Dalam sidang tersebut Syekh Haji Mohammad Noer dapat menjelaskan semua pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan sangat jelas, lugas dan meyakinkan. Sehingga sidang memutuskan bahwa ajaran beliau tidak bertentangan dengan syara’ maupun sunnah Rasulullah SAW.
       Setelah “pengadilan” itu usai, Syekh Haji Mohammad Noer pulang kembali ke rumahnya dengan diantar oleh Wedana Rambipuji Said Hidayat dan tiba pukul 18.00.
Sebelum beliau tiba kembali keluarga di rumah, para sahabat dan para santri merasa khawatir sekali karena orang yang mengantar beliau naik dokar yaitu Pak Sadeli telah pulang terlebih dahulu pada pukul 10.00 siang. Kemudian beliau ditunggu mulai habis sholat Dzuhur sampai dengan habis sholat Ashar juga tidak kunjung tiba, sehingga semua yang menunggu jadi was-was.
semuanya berjalan dengan lancer dan pengajian Bait Dua Belas tidak dipermasalahkan.
       Sementara klarifikasi dan dialog tentang Kitab Bait Dua Belas terus bergulir terus karena disebabkan oleh 3 (tiga) hal yaitu bahasanya yang unik, model sistem bacaannya, dan predikat sebagai ilmu ilham.
Adapun klarifikasi dan dialog terjadi lagi yaitu di Banyuwangi antara Kiai Imam Puro (sahabat beliau) dengan beberapa ratus kiai dan ulama. Kemudian klarifikasi dari KH. Abdul Hadi  Shiratol Mustaqim selaku sekretaris beliau yang dipanggil oleh Menteri Agama dan Ajudan Presiden Bapak Soegandhi di Jakarta pada tahun 1961. Klarifikasi ini merupakan puncak dari perdebatan dan opini karena Menteri Agama telah menerbitkan sertifikat dan rekomendasi tentang keabsahannya yang terdaftar di  Departemen Agama RI Bagian “K” Kepala Seksi IV pada tanggal 14 Pebruari 1961 sebagai Keluarga Besar Arifin Billah dengan Ilmu Mukashafah yang diberi nama Bait Dua Belas.
       Setiap hamba Allah atau manusia yang dikasihi oleh Allah SWT diberi keistimewaan –keistimewaan yang berbeda tergantung pada tingkat keimanan dan ketaqwaan, serta amal ibadah dan amal sholeh juga tingkat kesabaran dan keikhlasannya.
Keistimewaan-keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya yang dikasihi, sehingga akal manusia tidak mampu untuk memikirnya. Di antaranya adalah para Nabi yang diberi mukjizat, para wali oleh Allah yang diberi karomah, para ulama yang diberi ma’unah dan para orang awam yang diberi assidqu (keterampilan dan kelebihan).
       Adapun pengertian karomah dalam Kitab Ushul Auliya’ halaman 160 disebutkan :
       “Dan adapun beberapa para wali adalah suatu anugerah atau kemuliaan dari Allah Ta’ala memberikan sesuatu yang luar biasa dan menyimpang dari adat kebiasaan”.
       Tentang terjadinya karomah pada seorang wali adalah bersifat jaiz, namun bagi para ahli ilmu dan ahli ma’rifat dapat dibuktikan guna membedakan antara wali yang benar dengan orang-orang yang mengaku-ngaku (pembohong) dan telah mengetahui (ma’rifat) kepada Allah SWT.
       Adapun beberapa karomah Syekh Haji Mohammad Noer antara lain :
1.      Kemampuan dapat menjalankan ibadah sholat berjamaah pada awal waktu sampai akhir hayatnya.
2.      Dapat mengetahui hal-hal yang disembunyikan oleh seseorang
3.  Terbukanya kalam nafsi bumi dan seisinya sehingga mengerti bahasa semua binatang, tumbuh-tumbuhan, batu-batuan, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan di awal.
4.      Mengetahui saat masuknya waktu-waktu sholat fardhu 5 waktu maupun sholat sunnah karena waktu itu sendiri yang akan memberitahukan. Misalnya sholat fardhu waktu dhuhur, “Assalamu’alaikum saya adalah dhuhur”. Begitu juga sholat sunnah waktu tahajjud “Assalamu ‘alaikum saya adalah tahajjud” dan lain-lainya.
Maka beliau tidak menggunakan jadwal waktu sholat atau jam karena waktunya datang sendiri untuk memberitahukan.
5.   Suatu kisah pada waktu musim kopi tiba, banyak orang kampung yang menjual kopi hasil panen kepada Nyai Munirah (istri Syekh Haji Mohammad Noer). Hingga suatu saat sampai mencapai 9 karung banyaknya. Karena banyaknya kopi yang dibeli dari masyarakat, ada orang yang melaporkan kepada Sinder dan Asisten Sinder Perkebunan milik Belanda. Ditengarai kopi itu merupakan kopi hasil curian dari laha kebun, maka rumah beliau didatangi oleh 3 (tiga) orang yaitu Sinder, Asisten Sinder dan Pelapor. Mereka menggeledah rumah dengan menusuk-nusuk 9 karung kopi itu. Namun ternyata yang tampak adalah kacang tanah, dan Sinder itu berkata, “Bapak Kiai koq banyak kacangnya ?”. Beliau menjawab dengan enteng, “Iya, ini anak-anak santri yang baru panen”. Alhasil kopi dalam karung itu memang tampak seperti kacang tanah di mata mereka.
6.    Memperoleh Ilmu Ilham dari Allah SWT berupa Bait Dua Belas dan inilah yang dianggap oleh para sahabat Syekh Haji Mohammad Noer sebagai karomah terbesar.
       Pada tahun 1946 beliau wafat di usia 138 tahun, suatu usia yang amat panjang dan telah dimanfaatkan untuk ibadah dengan menjauhi kehidupan duniawi. Kepergiannya diiringi oleh ribuan umat yang mengantar sampai ke peristirahatan terakhirnya di komplek Pondok Pesantren Nahdlatul Arifin Desa Kemuningsari Lor Kecamatan Panti Kabupaten Jember.
Dengan kepergiannya maka suasana pondok berubah menjadi sepi, tidak banyak lagi tamu yang menimba ilmu dan bertukar fikiran atau meminta sawab beliau.
    Untuk mengembalikan suasana seperti semula, maka para santri, sesepuh dan kerabat pesantren bermusyawarah agar setiap tahun diadakan pertemuan atau reuni para alumni, jama’ah dan simpatisan beliau. Waktunya ditetapkan sesuai dengan turunya karomah beliau yang terbesar yaitu Bait Dua Belas tepatnya setiap tanggal 26 Maulid.
Reuni ini diprakarsai oleh 4 (empat) orang kiai yaitu Kiai Muksin, Kiai Sudja’i, Kiai Sanwani dan Kiai Djajadi. Reuni dan peringatan itu telah disepakati oleh karib beliau yaitu Syekh Haji Abdul Hadi Shiratol Mustaqim Curah Bamban Kecamatan Tanggul.
Reuni atau pertemuan ini berlangsung setiap tahun tiap tanggal 26 Maulid yang sampai sekarang dikenal dengan nama Peringatan Hari Ulang Tahun Karomah Syekh Haji Mohammad Noer RA.
       Acara ini selalu ramai, gegap gempita dan meriah sekali karena diikuti oleh ribuan jama’ah dari berbagai penjuru tanah air dan negeri jiran.
       Adapun tentang riwayat Syekh Haji Abdul Hadi Shiratol Mustaqim adalah seorang ulama sahabat yang sangat luas ilmunya. Beliau dilahirkan di Desa Pengadikan Kecamatan Rogojampi Banyuwangi.
Beliau banyak mengenyam pendidikan di berbagai pesantren Pulau Jawa dengan mondok di satu tempat dan berpindah ke tempat lainnya.
Pada tahun 1908 beliau menimba ilmu di Pesantren Demangan Bangkalan Madura yang diasuh oleh ulama besar KH. Mohammad Kholil (sekarang Pondok Pesantren Syaikhona Kholil Demangan Bangkalan).
       Ketika beliau hendak mudik dari Bangkalan ke Lumajang (mengikuti pamannya tinggal di Lumajang), Kiai Shiratol Mustaqim mendapat beberapa pesan dari KH. Mohammad Kholil yang sebagian di antaranya disampaikan oleh beliau.
       “Dengarkan, ada di daerah Ning- ning Jember seorang Kiai tapa lamanya 9 (sembilan) tahun, Allah telah mengangkat derajatnya sebagai Sulthanul Auliya’il Quthub, sowanlah kamu ke sana sebab ilmu ilhamnya tanpa kamu tidak akan tersebar luas”.
      Pesan dari gurunya itu kemudian dilaksanakan dengan niat akan menemui ulama yang dimaksud. Sebelum ke Jember beliau terlebih dahulu beliau singgah di Mesjid Ampel Surabaya, kemudian naik kereta api jurusan Surabaya – Lumajang. Di Lumajang terlebih dulu mampir di Desa Serbet di rumah pamannya (Jawa Pakde) yaitu Kiai Said.
Kiai Shiratol Mustaqim berkeinginan mempelajari Tarekat Naqsyabandiyah namun belum menemukan guru (mursyid) yang sesuai hatinya. Hal itu disampaikan pada pamannya tentang keinginan belajar tarekat. Terjadi diskusi dan dialog antara KH. Abdul Hadi Shiratol Mustaqim dengan Kiai Said tentang bagaimana dengan sifat-sifat dan figur guru spiritual tarekat.
       Kiai Said memberikan deskripsi tentang seorang guru tarekat menurut pengalamannya ketika berguru pada Syekh Haji Mohammad Noer di Kemuningsari Lor.
Selain itu dijelaskan bagaimana guru (mursyid) beliau adalah orang yang ahli puasa, tidak ada puasa sunnah yang ditinggalkan, utamanya amalan wajib.
Dikisahkan, untuk mewejang murid-muridnya sang guru menggali lobang sebanyak 40 (empat puluh) liang, dan satu persatu para santri tersebut masuk ke dalamnya selama 40 (empat puluh) hari. Mereka tidak boleh keluar kecuali buang air atau ada orang yang meninggal dunia. Tatkala dibaiat para santri diberi notes (catatan) untuk mencatat dzikir yang kurang bilangannya, harinya, tanggalnya dan bulannya. Semuanya harus dicatat sebab dzikir kalimah toyyibah (La ilaha illallah) dan harus dibaca sebanyak 124.000 kali dalam satu hari satu malam.
       Setelah sampai 40 hari guru mursyid tarekat memerika satu persatu catatan para santrinya. Ternyata setelah dibuka ternyata tidak ada satupun murid yang memenuhi dzikirnya. Hari pertama punya hutang, hari kedua punya hutang, dan seterusnya punya hutang. Kemudian guru mursyid itu mengatakan :
       “Kalian semua punya hutang kepada Allah, sebab kalian akan menepati janji kepada saya. Sebagai guru kalian, biarlah saya yang bertanggung jawab dan melunasi hutang dzikir kalian pada Allah. Selanjutnya kalian diperbolehkan keluar dari lobang dan bersyukurlah kepada Allah. Tanda-tanda bersyukur itu ada 3 (tiga) yaitu : bersyukur hati yaitu selalu ingat, cinta, rindu dan dzikir pada Allah. Bersyukur anggota badan, yaitu badan kita digunakan untuk perbuatan yang sholeh dan diridhoi Allah. Bersyukur harta yaitu mengeluarkan zakat dan shodaqah”.
       Para murid lalu pulang ke rumahnya untuk mengadakan tasyakuran 40 hari baiat mereka. Selanjutnya banyak yang memotong ayam, membeli ikan dan sebagainya Setelah masak makan dibawa ke serambi pondok untuk acara makan bersama.
Untuk pembacaan do’a para santri mengundang gurunya untuk pembacaan doa. Sang Kiai berpesan selama pembacaan do’a haruslah khusyu’, tawaddhu’ dan mantap dalam membaca lafaz “amiin”.
       Pada saat guru mursyid itu membaca do’a pada pertengahan terjadilah keajaiban yaitu ikan-ikan dan ayam yang dimasak semuanya hidup kembali sambil menyerukan kalimat “La ilaha illalah, Muhammadur rasulullah, Syaikh Abdul Qadir Jailany waliyullah”.
Kemudian selanjutnya ikan-ikan dan ayam itu kembali dalam bentuk semula menjadi lauk pauk. Selanjutnya Sang Mursyid memerintahkan kepada para murid untuk menyantap makanan sampai habis. Selanjutnya para murid disuruh pulang ke rumah dengan bersilaturrahim dan minta maaf seperti pada waktu hari raya termasuk juga menyampaikan salam dari Sang Mursyid.
       Sesudah mengisahkan pengalamannya berguru, Kiai Said kemudian menangis dan merasakan rindu pada gurunya. Beliau kemudian mengambil buku dan diserahkan kepada Kiai Shiratol Mustaqim dengan berpesan agar mencari guru tarekat seperti yang ada di buku tersebut.
       Setelah banyak memperoleh masukan tentang ajaran auliya’ itu selanjutnya beliau melanjutkan perjalanan mencari mursyid tarekat.
Beliau telah lama berkelana menemui sekitar 14 orang ulama atau kiai tarekat dari berbagai aliran seperti Naqsyabandiyah, Qodiriyyah, Syadzaliyyah, Syattariyah, Tijaniyyah, Ghozaliyyah, Umariyyah, Ahmadiyyah dan lain-lainnya. Namun dari semua ulama tarekat itu juga tidak ada yang pas atau cocok dengan Kiai Said. Kiai Said menyerahkan sebuah catatan kepada beliau agar kelak diberikan pada guru yang akan didatanginya.
       Setelah beberapa tahun, ada seorang teman KH. Abdul Hadi Shiratol Mustaqim yang datang menyampaikan berita tentang kehebatan Syekh Haji Mohammad Noer yang konon dapat terbang ke angkasa sampai menyelam dan menembus 7 lapis bumi. Tentu saja Kiai Shiratol Mustaqim marah karena cerita itu dianggap membual dan berlebihan. Orang itu ditegur oleh beliau dan disuruh bicara yang benar atau kalau tidak bisa diam saja. Maka orang itupun terdiam dan menurut karena beliau tidak suka.
Kiai Shiratol Mustaqim tahu cerita itu hanya terdapat dalam kisah pewayangan (Kitab Mahabharata) di mana yang bisa terbang hanya Gatotkaca dan yang menyelam ke bumi hanya Antasena. Keduanya adalah anak dari Werkudara atau Bratasena yang merupakan putra dari Raden Pandu Dewanata.
       Namun setelah si tamu pulang, Kiai Shiratol Mustaqim merasa gemetar, hatinya menjadi gundah dan takut. Bulu romanya berdiri, beliau telah merasa bersalah melakukan dosa ghibah, suatu dosa menurut pandangan Islam yang besarnya 30 kali perbuatan zinah. Beliau sangat  menyesal, rasa sesal yang menghantuinya sampai terbawa tidur dan beliau bermimpi berada di tengah sawah sambil merawat tanaman padi di bawah terik sinar matahari yang panas menyengat.
       Beliau terperanjat dan terbangun, namun masih tetap merasakan sengatan sinar matahari di sekujur badannya. Peristiwa itulah yang mendorong hati sanubarinya untuk mencari dan sowan kepada Syekh Haji Mohammad Noer. Maka dengan segera beliau berangkat dengan naik kereta api dari Lumajang dan turun di Stasiun Petung, kemudian dilanjutkan dengan jalan kaki menuju Desa Kemuningsari Lor. Tiba di kediaman Syekh Haji Mohammad Noer saat sholat Ashar tiba, beliau mendekati Syekh Haji Mohammad Noer sambil menyerahkan sebuah buku catatan.
Selanjutnya wali quthub itu menerima buku itu sambil dibuka dengan mengatakan,
     “Di zaman sekarang ini kamu tidak bisa mengamalkan seperti ini” (beliau tidak mengizinkan  mengamalkan ajaran Tarekat Naqsyabandiyah) dengan alasan tidak cocok dengan tarekat beliau serta bukan merupakan hasil ijma’ para ulama.
Beliau kemudian disuruh menetap di pondok Syekh Haji Mohammad Noer selama 40 (empat puluh) hari dengan harus mengikuti prilakunya dengan niat mujahadatan nafsi (memerangi hawa nafsu), sholat berjamaah dengan awal waktu, jangan sampai akhir takbiratul ihram-nya imam membaca.
       Selanjutnya beliau melaksanakan beberapa ritual ibadah seperti sholat sunnah seperti sholat daur (sholat ideran), mandi taubat nubati, berwudhu, mandi dan menyelam di kolam 11 kali dengan menahan nafas, sholat tahiyatul masjid, sholat taubat, sholat hajat, sholat istikharoh, dzikir, membaca surat-surat Al-Qur’an, do’a tawassul, dll.nya.
       Selama mulazamah di Kemuningsari Lor Kiai Shiratol Mustaqim diberi wewenang untuk mencatat ilmu ilham yang diberi nama Bait Dua Belas. Sehingga timbul keyakinan bahwa benarlah bahwa Romo Yai (Syekh Haji Mohammad Noer) adalah waliyullah dan ma’rifatnya adalah hakekat yang merupakan realita bukan mengada-ada dengan melihat sendiri kepada Allah Azza Wajalla.
Selain itu Kiai Abdul Hadi Shiratol Mustaqim juga mencatat riwayat Syekh Haji Mohammad Noer, dari keterangan teman-temannya sebelum beliau berada di Kemuningsari Lor yang kemudian diserahkan dan disetujui oleh RomoYai.
       Demikian sekilas riwayat KH. Abdul Hadi Shiratol Mustaqim, untuk lebih jelasnya bisa  dibaca dalam Kitab Fathul Arifina Billah, yang menerangkan tentang riwayat-riwayat, penjabaran Bait Dua Belas, dan aurod-aurod yang diwejang oleh Syekh Haji Mohammad Noer.
KH. Abdul Hadi Shiratol Mustaqim meninggal dunia tanggal 1 Juli 1970 pada usia 90 tahun di Curah Bamban, Tanggul.
Beliau adalah ulama besar yang kharismatis serta sulit dicari tara bandingannya apalagi pada masa sekarang. Mungkinkah pada saatnya nanti akan muncul kembali ulama besar sekaliber beliau berdua, mengingat sekarang banyak para ulama sudah kehilangan pamor dan sawab-nya karena jatuh pada gelimang duniawi ? Wallahu alam bissawab

Disusun oleh : Zainollah, S.Pd (Koordinator Forkom Bhattara Saptaprabhu)



Keterangan Foto  : Balong (kolam) peninggalan dari Syekh Haji Mohammad Noer.

Keterangan Foto  : Masjid pesantren peninggalan dari Syekh Haji Mohammad Noer yang sudah mengalami pemugaran.