Sunday 22 February 2015

Syekh H. M. Nur Kemuning 1

SYEKH H. MOHAMAMMAD NOER - Wali Quthub Dengan Karomah Bait Dua Belas
( Biografi Bagian - 1 )






         Pondok Pesantren Nahdlatul Arifin atau Pesantren Syekh Haji Mohammad Noer yang berlokasi di lereng Gunung Argopuro, tepatnya Desa Kemuningsari Lor Kecamatan Panti Kabupaten Jember adalah salah satu pesantren tua yang ada di kota tembakau. Bangunan pesantren itu masih tampak asri dengan halaman cukup luas dan bersebelahan dengan kolam ikan milik pondok. Meski bangunan ini sederhana dan tidak tersentuh oleh bangunan modern pada umumnya, namun kesan sebagai pesantren salaf yang cukup terkenal dan mempunyai kharisma sangatlah kental.

    Pesantren ini didirikan oleh Romo Yai (sebutan Syekh Haji Mohammad Noer) pada masa penjajahan Belanda. Meski tidak mengangkat senjata melawan penjajah, namun Romo Yai berjihad fi sabilillah menegakkan agama Allah dengan berdakwah dan memerangi kebathilan (amar ma’ruf nahi munkar).Peran 

Pesantren ini masih mempertahankan kemurnian sebagai pesantren tradisional yang berhaluan moderat dan tidak ekslusif tentunya dengan berpedoman faham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebagaimana pesantren pada umumnya.

    Sekarang pesantren diasuh oleh Kiai Arjuni Sanwani yang merupakan cucu dari Syekh Haji Mohammad Noer. Sebagaimana pendahulunya, Kiai Arjuni Sanwani adalah ulama berwawasan luas, sederhana dan rendah hati serta humoris. Kalau kita bertamu ke rumahnya maka akan betah berlama-lama karena beliau sangat gayeng dan suka berkelakar. 
Dalam kesehariannya beliau yang sering tampil tanpa jubah dan sorban ini masih tetap menggunakan motor lama mengantar istrinya belanja ke pasar atau bepergian. Sebelum mengajar santrinya lepas dhuhur beliau masih rajin ke kebun dan sawahnya dengan mengerjakan sendiri.

     Di tengah langkanya mencari sosok ulama dan kiai kharismatis yang menjauhi gelimang duniawi tidak tergoda rayuan politik dan tetap berpola hidup sederhana. Maka Kiai Arjuni Sanwani adalah sosok yang mewakili segelimtir ulama panutan umat. Beliau tidak silau dengan nafsu syahwat politik yang mengajak pada salah kekuatan atau menjadi partisan partai atau tokoh tertentu. Beliau tidak tergoda untuk meniliki mobil sebagaimana kebanyakan kiai atau ulama yang bergaya borjuis, the haves dengan pondok mewah dan modern serta kemegahan dan hedonistis lainnya. Atau dengan sering mengundang para tokoh pejabat datang agar pondoknya dapat bantuan.. Pernah beberapa kali beliau ditawari iming-iming bantuan dana miliaran rupiah dengan syarat Kiai menjadi partisan dan mendukung tokoh tersebut dalam pemilihan presiden. Namun dengan halus dan santun beliau menolaknya. Beliau tetap konsisten dan istqomah dalam menjaga kenetralan, kemandirian pesantrennya sebagaimana founding father yang dengan susah payah mendirikan dahulu. 
Itulah figur dan profil singkat pengasuh Pondok Pesantren Nahdlatul Arifin yang menjadi tempat berkumpul massa untuk memperingati karomah ulama wali quthub Syekh Haji Mohammad Noer setiap tanggal 26 Maulid Nabi Muhammad SAW.

      Allah menurunkan para nabi dan rasul, anbiya, auliyah serta para wali dengan memberi petunjuk perjalanan ma'rifat kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Di mana kita sebagai orang awam tidak tahu tanda-tanda bahwa seseorang itu adalah anbiya atau waliyullah. Yang tahu bahwa seseorang itu ulama, anbiya atau waliyullah adalah  orang-orang dari golongan mereka sendiri.
Di tengah masyarakat kita yang mempunyai budaya mengagungkan para pemimpin atau tokoh (primus interperes) banyak dikenal kisah atau cerita orang-orang tempo doeloe yang mempunyai kemampuan lebih (the six tense) atau daya linuwih, waskita, sidik paningal dan weruh sadurungi winarah (tahu sebelum terjadi) bahkan juga dukdeng (sakti madraguna) serta memiliki olah kanuragan. Kelebihan itu hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu, baik yang menganut pada jalan Allah (aliran putih) atau syetan (aliran hitam). Tentunya untuk mencapai itu tidaklah mudah karena kelebihan tersebut diperoleh lewat laku tirakat, tapa brata atau ibadah khusus dan mujahadah  kepada Yang Maha Kuasa. 
      Semenjak agama Islam dengan peradabannya masuk ke tanah Jawa yang dikembangkan oleh  para wali, mereka mampu menunjukkan jati dirinya sebagai sosok yang sangat kharismatik dan dianggap keramat (karomah) dengan memiliki keistimewaan bahkan kesaktian. Para wali dihadapkan pada situasi yang harus menampakkan 'kelebihannya' di hadapan orang-orang yang tersesat ke jalan gelap. Atau melawan arogansi orang-orang yang menentang dan menghalangi syiar para wali. Selain Walisanga di Jawa juga dikenal beberapa wali yang memiliki kehebatan seperti Sunan Ngudung, Syekh Siti Jenar, Sunan Tembayat, Sunan Panggung (yang dikenal dengan Suluk Malang Sumirang), Sunan Geseng, Syekh Subakir (Kakek Bantal), Syekh Jumadil Kubro dan lainnya.
Begitu juga di luar Jawa dikenal nama-nama para tokoh ulama seperti Dato'ri Bandang di Sumatera dan Sulawesi, Tua Tanggang Parang di Kutai dan Syekh Yusuf Tajul Khalwati di Makassar. Beberapa ulama habaib yang berasal dari Hadramaut dan beberapa negara Timur Tengah juga banyak menyebar di Nusantara sebagai pioner syiar agama Islam.
     Penyebaran Islam di Jawa bagian timur banyak dilakukan para wali seperti Sunan Giri, Sunan Ampel dan Syekh Maulana Ishaq. Begitu juga untuk wilayah tapal kuda (Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso dan Banyuwangi) yang kala itu masih banyak dipengaruhi oleh kepercayaan Hindu-Budha peninggalan Majapahit. Hingga pada abad ke 17 pengaruh Hindu-Budha dan animisme mulai terkikis di kawasan belantara perkebunan ini. Dalam hal penyebaran agama Islam selanjutnya peranan keturunan para ulama dan walilah yang memegang kendali di ujung timur Pulau Jawa ini.
Para tokoh tersebut tidak serta merta muncul secara otomotis, karena harus melalui proses pendadaran keilmuan dan kelebihan untuk menghadapi ujian dan tantangan yang berat. Meraka harus tampil dengan keunggulan dan keistimewaan di tengah masyarakat jumud dan awam yang kala itu masih berlaku hukum rimba. Kelebihan spritual dan supranatural dan kanuragan mereka adalah jawaban  untuk menghadapi semua itu. .
     Di wilayah  Jember yang masyarakatnya merupakan campuran pendatang dari etnis Jawa dan Madura (pendhalungan) dengan ciri khas berkarakter keras, lugas namun agamis serta sangat fanatik pada sosok kiai dan ulama. Ulama dianggap sebagai pengejawantahan dari wali yang memiliki supremasi dan mampu menyelasaikan persoalan umat utamanya terkait dengan moralitas.
Setelah era pemerintahan Kerajaan Demak dan Mataram berakhir dengan munculnya beberapa pemberontakan terhadap VOC, peranan ulama dan kiai di wilayah tapal kuda sangat dominan. Banyak di antara para ulama menjadi tokoh sentral pemberontakan atau menjadi penasehat spiritual atau ahli strategi para pemimpin pemberontak. Mereka membangkitkan semangat perang sabil (jihad fi sabilillah), seperti dalam Perang Diponegoro (1825 - 1830), Pemberontakan Trunojoyo (1674 - 1680), Perlawanan Untung Suropati (1685 - 1706) serta Puputan Bayu (berakhir 11 Oktober 1772). Beberapa perlawanan lokal di tapal kuda bahkan dipercikkan oleh keturunan para pejuang terdahulu serta para ulama yang juga keturunan para wali.
Para tokoh ulama yang terlahir pada jamannya telah mampu memberikan tauladan utama pada rakyat  dengan cara kehidupan yang sufi, zuhud dan tidak mengejar gelimang duniawi. Sehingga mereka menjadi panutan masyarakat karena dianggap pewaris nabi (warasatul anbiya). Selain itu mereka sangat dihormati dan disegani karena mempunyai keistimewaan dan ilmu hilkmat yang sama atau setingkat  dengan karomah para wali. 
Beberapa tokoh yang dianggap punya kelebihan  spiritual oleh masyarakat di Jember pada masa pra dan pasca kemerdekaan adalah Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid, KH. Hafidz dan Syekh Haji Mohammad Noer serta beberapa ulama lainnya.
     Syekh Mohammad Noer adalah salah seorang tokoh yang tidak pernah kering untuk selalu dikenang dan dibicarakan, meskipun tidak banyak diulas dalam literatur maupun pemberitaan. Tetapi masyarakat luas di Jember sampai luar daerah (Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dll) maupun lingkup nasional serta sebagian komunitas masyarakat di negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei cukup mengenal sosok ini. Untuk mengenang kebesaran dan sejarah perjuangannya, peringatan khoul karomah beliau diperingati tiap tanggal 26 Bulan Maulud yang selalu dihadiri masyarakat, santri, ulama, tokoh dan para pejabat yang meluber sampai radius kiloan meter dari area yang berada di Desa Kemuningsari Lor Kecamatan Panti Kabupaten Jember.
Ia adalah seorang ulama berwawasan luas, zuhud, wira'i dan mendapat gelar Waliyullah Quthubul Ghouts, karena pada beliau diberikan kemampuan dan kekuatan oleh Allah SWT untuk melaksanakan Kholwah Suluk Mujahadah selama 9 tahun yang terdiri atas dua tahap.
    Ulama dan wali quthub ini bernama Syekh Haji Mohammad Noer, terlahir pada tahun 1808 dengan nama kecil Abubakar, dari Desa Patalagan Kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan Jawa Barat yang berbatasan dengan Cirebon.
Kala Syekh Mohammad Noer lahir, saat itu bangsa Indonesia sedang menderita akibat penjajahan bangsa Belanda di bawah Gubernur Jenderal Mr. Herman Willem Daendels yang memerintah antara tahun 1808 - 1811.
Penderitaan rakyat khususnya di Pulau Jawa akibat kebijakan yang diterapkan Daendels berupa kerja rodi dengan pembuatan jalan antara Anyer di ujung barat (Propinsi Banten) sampai di Panarukan di Situbondo (Propinsi Jawa Timur) memakan banyak korban. Selain kerja paksa pembuatan jalan kereta api, gudang senjata (arsenal) dan benteng pertahanan serta pelabuhan telah menimbulkan kebencian rakyat pada Belanda. Tangan besi Daendels dan jatuhnya korban-korban pribumi yang tidak bersalah menyebabkan tangan kanan Napoleon Bonaparte itu mendapat julukan Tuan Besar Guntur dan Raden Mas Galak.
     Memang tidak ada causa antara penjajahan Belanda dengan kelahiran Syekh Haji Mohammad Noer, tapi kelahiran orang-orang besar dan istimewa ditamdai dengan munculnya  ontran-ontran atau peristiwa besar. Termasuk pada masa kekuasaan Daendels yang kejam. Kemunculan seorang wali quthub yang disebutkan dalam kajian kitab salaf adalah selama periode 100 tahun. Biasanya muncul tanda-tanda zaman yang penuh dengan masa ketidakpastian, paceklik atau penderitaan. Karena kita sesungguhnya tidak pernah tahu rahasia Allah terhadap alam semesta yang berada digenggaman-Nya.
     Mohammad Noer mempunyai 3 orang saudara yaitu Nawawi (Mbah M.Moer), Nyai Si'ah dan Nyai Syarifah. Pendidikan formal beliau dilalui di Sekolah Rakyat VIS (sekolah pribumi masa kolonial) dan pada itu sudah yatim karena ditinggal ayahnya. Selain pendidikan formal Mohammad Ya'kub selaku ayahnya telah membimbing dan mendidik dengan ilmu-ilmu keagamaan. Selepas pulang sekolah beliau mengirim putera-puterinya kepada Kiai Imampuro, seorang ulama yang sangat dihormati dan disegani di Desa Patalagan.
      Sejak kecil Mochammad Noer sudah menunjukkan talenta dan kecerdasan yang luar biasa di atas teman-temannya dan membuat kagum gurunya. Beliau lulus pada kelas III, namun tidak lagi melanjutkan di pendidikan formal.
Semenjak ayahnya meninggal pada tahun 1829 peran pendidikan diambil ibunya yaitu Nyai Biang Zainal dengan mengirim beliau ke beberapa pesantren seperti Pondok Pesantren Balerante di Desa Balerante Palimanan Cirebon yang diasuh oleh Kiai Damsuki, yang dikenal sebagai pengamal Tarekat Sattariyah.
Pada tahun 1832 beliau melanjutkan lagi pendidikan ilmu agamanya di Pesantren Tegal Gubuk di Desa Tegal Gubuk Kecamatan Arjawinangun Kabupaten Cirebon yaitu pada Kiai Abdullah seorang ulama penganut Tarekat Naqsyabandiyah yang dikenal dengan ilmu kanuragannya. Selanjutnya beliau pindah lagi pada tahun 1835 ke Pesantren Randubawa Desa Cikadane Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon yang diasuh oleh Kiai Jauhari yang dikenal sebagai kiai yang alim dalam bidang nahwu sharaf.
    Semenjak Mohammad Noer mengenyam pendidikan agama di Pesantren Balerante, beliau kemudian ingin hijrah ke Jawa Timur yang merupakan pusat pesantren dan ulama kesohor di tanah Jawa.
Pada tahun 1838 beliau mengadakan long march dari Cirebon ke ujung timur Pulau Jawa dengan modal semangat dan berbekal barang perniagaan berupa kericikan dan palen (Jawa).
Perjalalan panjangnya melewati kota-kota di sekitar pantai utara yang pernah disinggahi para wali seperti Kudus, Demak, Semarang terus ke selatan yaitu Jogjakarta lewat Gunung Wates, kemudian ke Solo lalu ke Kediri, Malang, ke Jusremo Wonokromo dan Pasuruan. Perjalanan panjang serta melelahkan karena harus menembus lebat dan ganasnya hutan yang penuh binatang buas. Namun dapat dilalui tanpa rasa takut maupun gentar.
       Dalam sebuah hikayat, konon Mochammad Noer yang kala itu tumbuh menjadi seorang pemuda kuat fisik dan mentalnya, saat masuk hutan dihadang oleh segerombolan perampok yang meminta paksa barang dagangannya. Mengahadapi ulah para perampok, pemuda itu tidak merasa ciut nyalinya. Dengan penuh rasa percaya diri Ia mengambil tiga biji batu kerikil dan kemudian dilemparkan pada para begundal itu. Akibatnya sungguh luar biasa, para perampok jatuh berhumbalangan dan kemudian tertidur pulas seperti terkena aji sirep.
Selanjutnya pemuda itu mengambil jarum dan benang serta menindik telinganya dengan benda itu serta merangkaikan antara yang satu dengan lainnya. Selain itu wajah para penyamun itu diolesi air tubang (air kunyahan nginang - jaman dulu para lelaki banyak makan sirih dan pinang sebagai tradisi lama dan berfungsi sebagai rokok). Usai melaksanakan ulah isengnya, pemuda ahli kanuragan itu berlalu dan setelah agak jauh melemparkan sisa batu kerikilnya kepada para perampok. Akibatnya mendadak sontak mereka terbangun dan kesakitan, serta kebingungan bahkan merasa aneh melihat wajahnya yang coreng moreng.
      Pada tahun 1852 Mohammad Noer sampai di Kediri dan belajar ilmu agama pada Kiai Langkir di daerah Tulungagung. Tahun 1855 berguru mengaji pada Mbah Yugo di Kesamben Blitar, dilanjutkan di Pesantren Keling yang diasuh Kiai Nawawi yang terkenal dengan Pesantren Wringin Agung, Pare Kediri selama 3 tahun. Kemudian pada tahun 1861 beliau pindah lagi berguru pada Kiai Waliyul Asghor di Pesantren Al-Badar Sidoresmo, Desa Mojosarmo Wonokromo Surabaya.
     Setelah 3 tahun menjadi santri di Wonokromo, beliau pindah lagi ke Pesantren yang diasuh Kiai Abdullah Faqih Kadipaten Kebon Agung Pasuruan yang berasal dari Cianjur Jawa Barat. Di tempat ini beliau cukup lama menimba ilmu yang gurunya dikenal sebagai pengamal tarekat sehingga beliau dijuluki Ahli Thariqah. Berkat kepiawaian dan ketekunan serta kejujurannya Ia dipercaya menjadi mandor kopi milik Kiai Abdullah Faqih yang berada di daerah Malang. Di tempat yang baru itu banyak yang datang untuk berobat, sehingga Ia mendapat predikat sebagai dukun.
Selama bekerja sebagai mandor, gajinya tidak pernah diambil. Bila dirupiahkan, setiap bulan nilai gajinya setara dengan 25 (dua puluh lima rupiah). Ketika ada rencana untuk melanjutkan perjalanan menuntut ilmu, barulah gajinya diambil sekaligus. Gaji selama 4 (empat) tahun itu sebesar Rp. 1200 (seribu dua ratus rupiah) yang akan dipergunakan sebagai modal untuk berdagang barang kericikan.
Begitulah pemuda itu sangat tekun menuntut ilmu sambil berdagang dan mempunyai keinginan besar untuk keliling Jawa dan perjalanannya akan dimulai dari Pasuruan.
     Setelah cukup lama menuntut ilmu yaitu sekitar 4 (empat) tahun dengan mengabdi pada KH. Abdullah Faqih, pada tahun 1868 Ia berencana melanjutkan perjalanan ke arah timur.
Atas izin dan restu dari gurunya, perjalanan dilanjutkan ke timur dengan jalan kaki melalui daerah Probolinggo, Klakah, Sumberbaru, Tanggul. Kemudian sampailah di Desa Petung Kecamatan Bangsalsari (Jember). Di desa ini pemuda itu singgah dan bermalam di rumah Kiai Dul seorang tokoh yang juga berasal dari Cirebon.
Semalam berada di rumah Kiai Dul, pada pagi harinya pemuda itu meneruskan perjalanan ke arah utara menuju rumah Pak Sampir seorang yang berasal dari Banten dan bertempat tinggal di Gebang Langkap. Kiai Dul kemudian juga mengenalkan pemuda itu pada seseorang yang bernama Hasan Muhyi yang menjabat Kepala Desa Kemuningsari Lor Kecamatan Panti yang juga berasal dari suatu daerah di Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat.
       Hasan Muhyi sekeluarga menyambut kedatangannya dengan senang hati, sekalipun pada saat itu Ia dan keluarganya menghadapi masalah yang sangat pelik. Masalah yang dihadapi petinggi desa itu adalah karena sering didatangi oleh Tuan Besar Perkebunan Pabrik (Sinder) di Widodaren. Tuan Besar itu ingin sekali memperistri puteri angkatnya yang bernama Kasmirah. Maklumlah selain Sinder itu beragama lain, Pak Hasan Muhyi khawatir nanti puterinya dijadikan gundik belaka.
Kepada pemuda pengelana itu Hasan Muhyi menceritaka masalah yang dihadapinya. Mendengar persoalan yang begitu berat dirasakan keluarga Hasan Muhyi, besok siangnya pemuda itu segera bergegas setelah minta izin Ia menuju lokasi perkebunan di Widodaren yang terletak di sebelah utara Kemuningsari Lor (sekarang masuk wilayah Desa Badean).Pemuda itu memang berniat menolong Pak Hasan Muhyi dan melepaskan beban berat yang dialami oleh tuan rumahnya. Kebetulan pada saat itu adalah hari Sabtu saatnya pembayaran gaji karyawan perkebunan Widodaren. Sampai di sekitar halaman kantor perkebunan, Ia membuka dasaran dagangannya yang berupa kricikan atau palen. Ternyata sepanjang hari itu dagangannya laris sekali. Sampai waktu beranjak senja menjelang maghrib, masih saja banyak pembeli berebut dan belum sempat kebagian.
Waktu menjelang malam, beliaupun diajak seorang mandor kebun untuk singgah dan bermalam. Esok paginya pemuda itu menggelar dagangannya kembali dan masih saja banyak pembeli yang berdatangan menyerbu dagangannya.
      Pada waktu istirahat di rumah mandor kebun, Ia mengambil 3 (tiga) buah batu lalu ditumpuk dan diambilnya pula sebatang tusuk (sujen) yang terbuat dari bambu. Kemudian batu-batu tersebut ditusuknya dengan sujen seolah-olah seperti menusuk sate. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu merasa heran dan takjub. Kiranya hal itu sengaja dilakukannya untuk menarik perhatian Sinder Perkebunan yang menguasai Kebun Widodaren itu.
      Berita tentang keunikan dan keanehan yang dilakukan pemuda pengembara itu menyebar luas di kalangan masyarakat perkebunan, sehingga anak muda dikenal memiliki ilmu tinggi dan sangat sakti. Keberadaan seorang pedagang baru yang eksentrik, baik dalam hal ucapan maupun cara menawarkan dagangannya itu telah mengundang perhatian masyarakat luas termasuk para pegawai yang ada di perkebunan tersebut.
Bahkan Sinder perkebunan itu menyempatkan diri untuk bertanya kepada pemuda itu.
" Saudara berasal dari mana ? " tanya Tuan Sinder pada pemuda itu dengan tatapan tajam.
" Saya berasal dari Cirebon" jawab pemuda itu dengan tenang.
" Di sini tinggal di mana ?" tanya Tuan Sinder itu penasaran.
" Saya tinggal di rumah Kepala Desa Kemuningsari Lor ", jawabnya meyakinkan.
" Apa hubungan antara sampean dengannya ?" tanya Sinder tambah penasaran.
" Saya adalah calon suami Kasmirah, puterinya " jawab pemuda itu dengan percaya diri.
      Mendengar jawaban tegas itu Tuan Sinder itu kemudian memalingkan muka dengan wajah merah padam. Perasaan marah, malu bercampur cemburu memaksanya untuk meninggalkan tempat itu kemudian masuk ke dalam kantornya.
Setelah itu Ia (Mohammmad Noer) memberesi barang dagangannya dan kembali ke rumah Hasan Muhyi serta bermalam di rumahnya.
     Malam harinya saat bercengkerama, pemuda itu menyampaikan kepada Pak Hasan Muhyi, bahwa Tuan Sinder Insya Allah tidak akan kembali lagi ke sini.
Mendengar apa yang disampaikan pemuda asing itu Hasan Muhyi sekeluarga menjadi tenang dan tidak khawatir lagi. Ternyata kemudian benarlah apa yang dikatakan pemuda itu bahwa Sinder itu tidak pernah muncul lagi ke rumahnya. 
     Setelah bermalam dan istirahat di rumah petinggi desa itu, pagi harinya pemuda baik hati itu berpamitan untuk meneruskan perjalanannya ke arah timur yaitu ke Desa Panti (sekarang Kecamatan Panti Kabupaten Jember).
Di Desa Panti Ia singgah di rumah Pak Sartum yang juga berasal dari Banten Jawa Barat. Di rumah Pak Sartum inilah pemuda itu mengabdi dan mengerjakan apa saja yang ditugaskan kepadanya. Bahkan pernah diberi tugas bekerja di gudang tembakau di desa tersebut.
    Pada saat tinggal di rumah orang Banten itu Ia mengalami peristiwa yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Ketika Ia mengikuti Sholat Ied (Hari Raya), kitab khotbahnya selalu terbaca berulang-ulang oleh khotib yang membaca khotbah. Sehingga tidak pernah berkesudahan sampai kemudian digantikan oleh khotib lain. Namun yang terjadi tetap mengalami hal yang sama dengan khotib sebelumnya.
Kemudian ada di antara jama'ah yang mengusulkan agar khotib itu diganti dengan orang yang bekerja di rumah Pak Sartum. Nampaknya jama'ah yang mengusulkan itu mengerti dan faham jika pemuda itu orang yang alim dan berilmu tinggi. 
Ternyata benarlah kemudian pemuda asing dengan fasih dan lancar membaca khotbah Sholat Ied yang membuat hadirin merasa terpana.
     Setelah kejadian itu masyarakat Panti mengetahui bahwa orang yang bekerja di rumah Pak Sartum itu sebenarnya orang yang alim dan punya kelebihan. Selanjutnya pemuda berilmu itu pamit untuk melanjutkan pengembaraannya. Kali ini perjalanan dengan jalan kaki menuju ke arah timur melalui Kalibaru dan sampai di Pesantren Kedayunan Banyuwangi yang berada di ujung timur Pulau Jawa.
Kemudian perjalanan dilanjutkan ke arah utara lewat daerah Bajulmati (Banyuwangi) sampai Situbondo, Panarukan, Probolinggo. Selanjutnya menuju ke barat menyusuri pantai utara hingga sampai di desa Gempeng Pacangan, Bangil Kabupaten Pasuruan. Di tempat itu Ia tabarukan dengan Kiai Imam Subaweh, Kiai Imampuro dan Kiai Surgi. Selama di Gempeng Pacangan Ia berkenalan dengan Adipati Bangil.
    Selesai tabarukan kepada para kiai di Pacangan, pemuda itu kemudian pamit untuk meneruskan perjalanan ke arah barat lewat Mojokerto, Lamongan, Bojonegoro, Semarang, Ambarawa, Purbalingga, Purwokerto, Kuningan, Majalengka, Sumedang,Ciamis dan singgah di Desa Patalagan untuk menjenguk keluarga (orang tua dan saudaranya).
Usai istirahat beberapa saat di Patalagan, kembali diteruskannya perjalanan ke arah timur lagi lewat Cilacap, Kebumen, Kroya, Wates, Jogjakarta, Gunung Kidul, Tremas, Ponorogo, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Klakah, Jatiroto, Sumberbaru, Tanggul, Bangsalsari, dan Rambipuji. Akhirnya Ia sampai juga ke Desa Kemuningsari Lor Panti di rumah Pak Hasan Muhyi.
     Perjalanan panjang (long march) yang dimulai dari Pesantren Kebonagung Pasuruan mengelilingi Pulau Jawa dengan jalan kaki sembari berdagang kericikan/palen itu ditempuhnya selama 2 (dua) tahun. Selama dalam perjalanan Ia ditempatkan untuk ngalap tabarukan (menimba ilmu) kepada para kiai dan ulama yang ada di Pulau Jawa.
Dalam kisah perjalanannya Syekh Haji Mohammad Noer mengitari Pulau Jawa dengan melintasi hutan belantara yang tidak tampak matahari, serta binatang buas yang masih berkeliaran. Di tengah lebat dan gelapnya hutan di mana air banyak yang menetes di pepohonan karena udara lembab dan tidak terkena cahaya matahari. 
Namun karena tawakal, serta sabar dan takarrub pada Allah Rabbul 'Alamin, Ia dihindarkan dari setiap marabahaya.
     Ada satu hikayat tatkala pemuda itu melalui daerah Gunung Mega Mendung Jawa Barat, bertemulah dengan seorang perempuan yang cantik jelita yang membawa rantang berisi nasi dan lauk pauknya. Karena merasa lapar Ia menerima saja pemberian gadis itu dan dimakanlah dengan lahap sampai perutnya kenyang. Tapi anehnya makanan itu tidak pernah habis-habisnya. Selesai makanan Ia berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada perempuan yang ditemuinya itu.
    Kedatangan Syekh Haji Mohammad Noer untuk yang kedua kalinya di Desa Kemuningsari Lor Kecamatan Panti disambut dengan senang hati oleh Kepala Desa Hasan Muhyi dan keluarganya. Kedatangannya memang sangat diharapkan karena adanya peristiwa yang lalu pada waktu kedatangan pemuda itu pertama kalinya. Setelah peristiwa dengan Tuan Sinder itu tersiarlah kabar bahwa Kasmirah telah menjadi calon suami pemuda Sunda yang berilmu dalam tersebut. Sejak itu juga tidak ada pemuda yang mau mendekat apalagi meminangnya.
    Dengan adanya kejadian tersebut Pak Hasan Muhyi bermusyawarah dengan pemuda itu untuk mencari jalan keluar terkait isu yang membuat dirinya tidak merasa nyaman. Akhirnya pada tahun 1870 pemuda pendatang itu sepakat untuk dinikahkan dengan puteri angkat kepala desa tersebut.
Dalam perjalanan pernikahannya Syekh Haji Mohammad Noer dikaruniai 7 (tujuh) orang keturunan yaitu : Nurjasiyah, Mukminah, Maimunah, Mariyah, Mursiti, Ruqayyah dan seorang laki-laki bernama Mathori.
Semua putera-puterinya hidup dan menikah serta mendapat keturunan, kecuali Mathori yang masih belum dikaruniai anak. Puteri  pertama Nurjasiyah menikah dengan Kiai Nawawi (Bapak Qoniah), Mukminah menikah dengan Kiai Haji Shiddiq, Maimunah dinikahkan dengan Kiai Abdurrohim, Mariyah menikah dengan Kiai Shoheh Abu Solehan. Puteri ke lima Mursiti menikah dengan Kiai Abdul Hamid, Ruqayyah menikah dengan Abdul Karim dan Mathori menikah dengan Sarah.
    Dua tahun setelah pernikahan Syekh Haji Mohammad Noer dengan Kasmirah tepatnya pada tahun 1872, Mohammad Noer diberi tugas untuk membantu kepala desa mengemban tugas sebagai carik (sekretaris desa). Sekalipun mendapat tugas di pemerintahan desa, beliau masih tetap mengaji kitab kuning sebagaimana biasanya dan mengerjakan sholat fardhu berjama'ah di manapun berada. Bahkan kalau ada pertemuan atau rapat di desa maupun kecamatan kalau sudah masuk waktu sholat beliau mesti mohon izin untuk menunaikan sholat berjama'ah.
     Kemudian dengan adanya pemekaran  Desa Kemuningsari Lor Kecamatan Panti Kabupaten Jember, maka desa ini dikembangkan jadi 2 (dua) desa yaitu Desa Kemuningsari Lor dan Desa Pakis yang sebelumnya menjadi wilayah Desa Kemuningsari Lor. Beliau lalu dipilih untuk menjadi Kepala Desa Pakis tapi ditolaknya dengan bijak. 
Beberapa tahun Pak Hasan Muhyi menikahkan puteri kandungnya Mustirah, sehingga dengan adanya menantu keduanya Syekh Haji Mohammad Noer berniat mengundurkan diri dari tugasnya sebagai carik. Tepatnya kemudian pada tahun 1878 beliau secara resmi mengundurkan diri sebagai carik dan tugas itu dilimpahkan pada adik iparnya (menantu kedua Pak Hasan Muhyi).
     Setelah Syekh Mohammad Noer mengundurkan diri dari jabatannya sebagai sekretaris desa, beliau mulai merintis pendirian pondok pesantren. Pertama kali yang dilakukan adalah membeli sebidang tanah yang cukup luas yaitu 13 hektar. Tanah tersebut masih berupa hutan yang dihuni oleh binatang buas dan liar. Selain itu masih menurut cerita, tanahnya terkenal wingit dan angker. Karena angkernya tempat tersebut, maka beliau membersihkannya dan mendirikan sebuah rumah sederhana yang mirip saung (gubug). Atapnya dibuat dari rumput ilalang (alang-alang) dan daun rotan, sedangkan tiangnya dari kayu dadap yang masih basah.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari beliau bekerja keras dengan bercocok tanam sayur-sayuran dan palawja yang hasilnya dijual sendiri ke pasar.
Apabila musim hujan tiba terpaksa beliau tidak dapat bepergian dan berjualan karena lokasi rumah yang ditempati berada di antara dua aliran sungai yang cukup besar. Kalau hujan lebat air sungai meluap dan jembatan yang ada di situ tidak bisa diseberangi.  
Untuk itu belau mengatasinya dengan dengan memperkecil aliran sungai sebelah timur dengan cara mengatur aliran airnya di persimpangan sungai di Desa Pakis. Aliran sungai ke jurusan Desa Kemuningsari Lor diperkecil, sehingga aliran air lebih banyak ke sungai ke jurusan Desa Banjarsari. Sungai yang disebut terakhir kondisinya memang lebih lebar dan dalam.
     Kemudian berkat keuletannya, makin lama kawasan itu semakin teratur dan tertata dengan baik. Berbagai jenis tanaman berupa buah-buahan, kolam-kolam yang dipenuhi ikan warna-warni telah banyak menarik masyarakat untuk datang berkunjung ke daerah baru tersebut. Di tempat itu dipenuhi pula oleh anak-anak yang datang untuk bermain karena sangat asri dan menyenangkan. Sementara kehidupan ekonomi keluarga beliau menunjukkan kemajuan dan meningkat karena ditopang oleh kegiatan bercocok tanam.
    Pada tahun 1900 beliau mendirikan sebuah surau (langgar) yang digunakan untuk sholat berjamaah dengan masyarakat sekitar dan tempat anak-anak warga mengaji. 
Dengan ketekunan, ketelatenan dan kesabaran beliau yang tidak kenal menyerah, maka jumlah santri makin lama makin banyak sehingga langgar itu tidak cukup lagi untuk menampung anak-anak yang mengaji di sana. Untuk itu beliau kemudian memperbesar langgarnya manjadi sebuah mesjid. Beliau juga membangun jembatan untuk memperlancar hubungan transportasi dan lalu lintas jama'ah. Semakin lama semakin banyaklah warga masyarakat yang berdatangan dari luar Desa Kemuningsari Lor yakni berasal dari daerah Jember, Banyuwangi, Bondowoso bahkan dari wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera dan lain-lain. Maka dibangunlah pondok atau penginapan untuk kebutuhan para tamu yang menuntut ilmu atau santri yang mengaji. 
      Pada mulanya pondokan itu dibangun dengan menggunakan dinding bambu dengan alas jerambah dari bambu pula sekedar untuk tempat bermalam bagi para tamu jauh dan santri yang bermukim. Pondok pesantren yang baru berdiri itu diberi nama Nahdlatul Arifin yang memiliki arti dan makna Kebangkitan Orang-Orang yang Arif.
Dengan kerja keras dan semangat yang tidak mengenal lelah serta barokah yang besar karena pengabdian pada agama yang ikhlas, maka keadaan ekonomi beliau meningkat pesat. Beliau kemudian menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah selama 7 bulan dengan perjalanan menggunakan kapal laut. Bersambung.
Oleh  :  Zainollah, S.Pd (Koordinator Forkom Bhattara Saptaprabhu)
                                       
Keterangan Foto  :  1. Tampak Depan  Pondok Pesantren Syekh Haji 
                                     Mohammad Noer, Kemuningsari Lor Panti, Jember.
                                 2. Pengasuh Pondok Pesantren, Kiai Arjuni Sanwani. 








7 comments:

  1. Maaf, saya dengar dari nenek saya rupiat (anak dari mursiti dan abd hamid,) katanya perjalanan mbah yai nur dari patalagan ke kemuning ditempuh selama 40hari.

    ReplyDelete
  2. Maaf, saya dengar dari nenek saya rupiat (anak dari mursiti dan abd hamid,) katanya perjalanan mbah yai nur dari patalagan ke kemuning ditempuh selama 40hari.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya m Yazid asnafi nenek saya Khotijah juga darikemuning jembaer cucunya Mbah haji Nor dari Mbah haji sidik,dulu waktu saya waktu kecil tahun 75 pernah ke kemuning sari bersama keluarga saya dari Blitar

      Delete