Sunday 22 February 2015

Syekh H. M. Nur Kemuning 2

SYEKH H. MOHAMMAD NOER : Kiai Musafir Pendulang Ilmu 
Biografi Bagian - 2




      Pada tahun 1903 Syekh Mohammad Noer berangkat menunaikan Rukun Islam yang ke-5 ke Tanah Suci. Selama berada di tanah haram itu beliau berbaiat Tarekat Ghozaliyyah di Jabal Qubais Mekkah sebagaimana kisah sebagai berikut :
Ketika beliau berada di Masjidil Haram Mekkah, dengan niat taubat, bermunajatlah di bawah talang emas memohon ampun kepada Allah SWT, agar diampuni semua dosa-dosanya. Di antara sahur dan sepertiga malam pada hari Kamis, tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh dari talang emas tersebut. Wujudnya seperti kendi kencana yang langsung diterima dengan kedua tangan beliau, hingga kemudian kendi kencana itu pecah.
Selanjutnya pada malam Jum'at tiba-tiba ada seorang yang keluar dari makam Nabi Ibrahim AS yang kelihatan sangat putih, berbau harum semerbak, Lelaki itu berjenggot putih itupun datang kepada beliau memberikan sebilah pisau cukur yang sangat tajam.
    Sepulang dari Tanah Suci Syekh Haji Mohammad Noer akhirnya dikenal dan dipanggil dengan nama "Romo Yai Haji Mohammad Noer" (sebelumnya nama beliau adalah Kiai Abubakar). Aktivitas beliau kembali mengajar kitab kuning kepada para santrinya sebagaimana biasanya. Selain itu diajarkan pula terbangan (seni hadrah) dengan lantunan shalawat yang amat terkenal di Desa Kemuningsari Lor dan desa sekitarnya.
      Ada sebuah kisah yang terjadi pada tahun 1910 di mana group hadrah yang dipimpin beliau mendapat undangan ke Desa Badean. Beliau hadir bersama dengan rombongan terbangan dari Desa Kaliwining Kecamatan Rambipuji. Pada saat rombongan beliau datang, ada sikap arogan dan terkesan meremehkan pada group terbangan beliau. Keanehan terjadi, pada saat terbangan dari Kaliwining itu tampil untuk beraksi, tidak terdengar bunyi atau suara sama sekali sampai akhir acara.
      Semenjak peristiwa itu beliau merasa bersalah dan berdosa karena masih memiliki hati yang tidak bersih, riya' dan jumawa. Untuk itu beliau berniat untuk melakukan taubat nasuha, guna membersihkan hati yang kotor. Kemudian beliau mengumpulkan semua anak, cucu dan para menantunya guna menyampaikan suatu wasiat dan melimpahkan tugas-tugas ke depan, sekalian berpamitan bahwa akan melaksanakan kholwah suluk mujahadah dalam rangka taubat nasuha itu.
Sebagaimana dikisahkan sebelumnya, sepulang dari pertemuan di Desa Badean dalam acara atraksi terbangan (hadrah), Syekh Mohammad Noer merasa dirinya mempunyai hati yang tidak bersih. Maka beliau berkeinginan untuk membersihkan hatinya dengan melakukan taubat nasuha dengan melaksanakan Kholwah Suluk Mujahadah.
Kholwah artinya menyendiri, sedangkan suluk berarti menempuh jalan (tarekat) dan mujahadah artinya bersungguh-sungguh. Maka artinya secara keseluruhan adalah "melakukan ibadah lahir bathin untuk menyingkirkan (mengosongkan) sifat madzmumah (sifat tercela) lahir batin menuju sifat mahmudah (sifat terpuji) lahir dan bathin pula.
      Agar keinginan kholwah suluk mujahadah itu dapat dengan segera dilaksanakan, maka pada tahun 1910 sesudah melaksanakan sholat Isya', Syekh Haji Mohammad Noer mengumpulkan semua keluarga dan menantunya untuk menyampaikan maksud dan keinginannya dan sekaligus mengatur pembagian tugas selama beliau melaksanakan tugas.
Karena anak laki-lakinya masih kecil, maka tugas-tugas itu dilimpahkan kepada anak-anak menantunya yaitu KH. Shiddiq diberi tugas mengatur dan mengajar para santri. Kiai Shoheh Abu Solehan diberi tugas untuk menerima tamu pada siang hari. KH. Abdul Hamid diberi wewenang untuk menerima tamu pada malam hari, Kiai Abdurrohim mendapat tugas menangani pertanian. Sedangkan Abdul Karim mendapat tugas mengatur kebutuhan rumah tangga keluarga, tamu dan para pekerja di sawah. Lalu Kiai Nawawi diberi tugas untuk membantu KH. Shiddiq mengatur dan mengajar para santri.
     Setelah niatan dari beliau disampaikan dengan jelas dan gamblang, maka kemudian menyerahkan sejumlah uang kepada Abdul Karim agar dimanfaatkan sebagai dana untuk persiapan membiayai kebutuhan belanja sehari-hari keluarga, para pekerja di sawah dan para tamu. Selain itu beliau juga menyerahkan uang untuk biaya naik haji 6 (enam) orang menantunya, apabila dalam tugasnya nanti sewaktu-waktu beliau dipanggil oleh Allah SWT. Namun apabila nanti ternyata beliau masih diberi kesempatan hidup, maka akan ikut membantu dan mengatasi urusan para menantunya.
Selanjutnya beliau berpamitan pada keluarga untuk melaksanakan kholwah suluk mujahadah selama 9 (sembilan) tahun yang dimulai pada tahun 1910 sampai dengan tahun 1919. Dalam melaksanakan "ritual" tersebut beliau berpegang pada dasar Al-Qur'an dan Hadits Nabi SAW serta Kitab Fiqih, Kitab Tasawwuf dengan pedoman Kitab Ihya' Ulumiddin karya Imam Al-Ghozali, Kitab Al-Hikam karya Syekh Akhmad Ibnu 'Athaaillah dan Kitab Minhajjul 'Abidin karya Imam Al-Ghozali
      Kegiatan ibadah itu dilaksanakan di salah satu kamar rumah di dalam, hal itu berdasarkan pada kelampahan atau perjalanan yang pernah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW. Mengenai sholat sunnah dilaksanakan di suatu tempat saja di dalam rumah berbeda dengan sholat fardhu yang senantiasa tetap dilaksanakan di masjid pondok secara berjamaah pada awal waktu sholat.
Suluk pertama dilaksanakan selama 6 (enam) tahun yang disebut dengan nama suluk abraar. Selama melaksanakan suluk ini, beliau melaksanakan sholat sunnah, dzikir di dalam satu kamar rumah. Sedangkan sholat fardhu dilaksanakan beliau dilaksanakan di masjid dengan berjamaah di awal waktu.
     Dalam rangka melaksanakan kholwah suluk abraar, beliau telah membulatkan hatinya semata-mata karena iman kepada Allah dengan penuh keyakinan siang dan malam, melaksanakan taubat nasuha, meninggalkan hal-hal yang bersifat keduniawian dan melasanakan pengabdian kepada Allah dengan menjauhi segala larangan-Nya.
Tahapan-tahapan untuk melaksanakan suluk mujahadah adalah tabarruk dengan melalui dua tahapan. Pertama selama 6 (enam) tahun yang disebut suluk abraar  yaitu suluk irodah dan hidayah. Kedua yang disebut dengan suluk muqarrobin.
     Suluk Pertama. Menurut penjelasan dari Kiai Abdul Hadi H. Shiratol Mustaqim dari Desa Curah Bamban Kecamatan Tanggul yang merupakan karib Syekh Haji Mohammad Noer, di dalam Kitab Fathul Arifina Billah, bahwa tarekat yang digunakan dan dilaksanakan beliau dalam Suluk Mujahadah itu adalah tabarruk yaitu mengambil dalam kitab fiqih dan tasawwuf.
Selama menjalankan kholwah 6 (enam) tahun itu beliau tidak pernah batal wudlu dan apabila hadats, beliau segera mengambil air wudlu dan hal ini selalu dilakukan secara terus menerus.
Beliau bermaksud melakukan taubah nasuha kepada Allah SWT, serta menghilangkan angan-angan dan pikiran tentang keduniawian dan hanya beribadah semata-mata karena Allah dengan menjauhi semua larangan-Nya. Selama kholwah beliau melakukan beberapa hal di antaranya sedikit bicara dan berbicara seperlunya atau yang fardhu. Makan sedikit yaitu sehari semalam hanya satu lepek (piring kecil) nasi dan minum satu sendok. Sedikit tidur hanya sebentar dalam sehari semalam hanya satu jam, menyendiri dalam satu kamar tanpa ada siapapun. 
      Adapun amalan yang dilaksanakan dalam yang menjalankan kholwah ma’al uzlah yaitu dengan membaca istighfar untuk memohon ampun kepada Allah, membaca sholawat kepada Nabi SAW, membaca naïf isbat atau tahlil  meng-Esakan Allah Robbul ‘ Alamin dan menyebut asma Allah SWT.
     Semenjak masih kanak-kanak beliau sudah terbiasa mengamalkan dzikir ismudzat secara istiqomah dan dalam suluk ini dzikir beliau tidak menggunakan ‘ilmu lathoif karena ittiba’ Rasulullah SAW.
Syekh Haji Mohammad Noer menyatakan bahwa uqbah yang pertama merupakan syarat sahnya suatu suluk dan tarekat apapun yang tidak dapat memenuhi syarat dasar tersebut tidak akan diterima oleh Allah SWT, misalnya dalam melaksanakan suluk hanya ingin dibuka pintu ma’rifat (mukasyafah), jelas tidak akan diterima karena suluk yang dilakukan itu bukan karena Allah.
    Selanjutnya beliau mengatakan apabila uqbah awal telah dilaksanakan dengan benar, kemudian ditambah dengan uqbah yang kedua selama 40 hari, maka Insya Allah terlihatlah dunia dengan segala isinya, tumbuhan, dedaunan, tanah, pasir, batu, kerikil dan hewan. Semua bias dimengerti bunyi isyarat bahasanya dan kemauannya. Pada tahap ini orang kebanyakan sudah tertipu dan berhenti melaksanakan suluk, karena merasa sudah berada di puncak.
Kemudian membuka rahasia-rahasia apa yang telah diketahuinya kepada orang lain, padahal yang demikian itu berarti tidak mengindahkan sabda Rasulullah SAW dalam sebuah Kitab Syekh Abu Hamid Al-Ghozali yaitu “Membongkar kerahasiaan Allah adalah kafir”
      Dalam suluk abraar ini Syekh Haji Mohammad Noer mengerjakan sholat sunnah dalam sehari semalam sebanyak 1000 (seribu) raka’at dan dzikir sebanyak 70.000 (tujuh puluh ribu) kali. Setelah mencapai 9 (sembilan) bulan kulit dahi beliau menebal (jawa ; kapalan) dan menghitam. Akibatnya beliau khawatir menimbulkan sifat riya’ (sombong). Maka sholat sunnahnya dikurangi menjadi 300 raka’at dalam sehari semalam, namun dzikir ditambah menjadi 90.000 (sembilan puluh ribu) kali.
      Setelah genap 6 (enam) tahun, menjelang sholat Syekh Haji Mohammad Noer kedatangan 2 (dua) orang tamu dari arah barat daya yang berpakaian jubah serba putih mengaku bernama Haji Abdullah yang berbadan tinggi besar dan Haji Abdurrahman yang berbadan pendek dan kecil.
Kedua tamu tersebut masuk ke dalam kamar kholwah, namun kehadiran kedua tamu tersebut tidak ada seorangpun yang tahu kecuali beliau sendiri. Beliau mengatakan kepada sebagian santri bahwa orang yang dating itu seperti Nabi Khidir AS dan Nabi Ilyas AS.
Dalam melaksanakan suluk mujahadah selama 6 (enam) tahun ini terbukalah kalam nafsi yaitu tampaklah dunia beserta isinya.
Suluk Kedua. Suluk kedua ini dilaksanakan selama 3 (tiga) tahun yang dinamakan dengan suluk muqarrobin. Selanjutnya Syekh Haji Mohammad Noer mengatakan kepada anak cucu dan menantunya, “apa salahnya jika aku meneruskan mujahadah”.
Kemudian beliau meneruskan dan meningkatkan dari uqbah yang kedua, ketiga dan keempat yaitu banyak diam tidak banyak berbicara, tetap berada dalam kamar rumah tidak bebergian, rela meningggalkan makan artinya tidak makidak makan dan minum, menjalankan suluk mujahadah tidak membatasi waktu bahkan sampai mati.
    Dalam melaksanakan suluk mujahadah tahap kedua, yang dilaksanakan selama 3 (tiga) tahun itu, Syekh Haji Muhammad Noer juga berpedoman kepada Kitab Minhajjul Abidin, di mana harus mampu melaksanakan mati abang dengan menghindari hawa nafsu atau tidak melayani kehendak hawa nafsu, mati putih yaitu mampu menahan lapar dengan memilih makanan halal, mati ijo dengan menghilangkan sifat ujub, riya’, sum’ah, takabbur serta menghilangkan sifat cinta dunia, pangkat dan harta. Kemudian mati ireng tidak marah dengan mengeluarkan cacian dan tidak bangga dengan pujian.
Dalam suluk muqarrobin dzikir yang dilaksanakan sehari semalam sebanyak 70.000 (tujuh puluh ribu) kali dan sholat sunnahnya sebanyak 300 (tiga ratus) rakaat.
     Ketika mencapai 3 (tiga)  tahun kurang 7 (tujuh) hari dzikir ditingkatkan dalam sehari semalam menjadi 124.000 (seratus dua puluh empat ribu) kali. Setelah 7 (tujuh) hari kemudian genaplah sudah 9 (sembilan) tahun tahun pelaksanaan suluk mujahadah. Hari itu  tepatnya Jum’at tanggal 26 Maulid tahun 1340 Hijriah atau tahun 1919 Masehi pada jam 14.00 WIB, Syekh Haji Mohammad Noer terlihat seperti orang yang sudah wafat. Namun setelah diteliti denyut nadinya oleh Kiai Shoheh Abu Solehan (menantunya) ternyata pada kaki beliau masih ada getaran denyut nadinya.
Dua tahun telah berlalu, sejak terbukanya pintu mukasyafah, alkisah datanglah seorang tamu yang aneh tingkah lakunya dan tidak seperti orang biasanya. Sesampai di halaman rumah tamu itu bertanya kepada Kiai Shoheh Abu Solehan yang ketika itu berjaga di situ.
     “Gus, apakah bisa kami menjumpai Romo Kiai ?” Tanya tamu tersebut.
     “Bisa saja”, jawab Kiai Shoheh.
   Ketika tamu tersebut akan masuk ke rumah, Ia memanggil-manggil Kiai Shoheh Abu Solehan sambil menunjuk ke atas dan berkata ;
     “Gus, ini koq ada kelapa yang sama-sama tumbuh di janjangannya (tangkainya)” kata tamu tersebut.
       Lalu Kiai Shoheh melihat apa yang dikatakan tamunya, ternyata memang betul kelapa satu janjang itu tumbuh sangat lebat di atas. Padahal kemarinnya tidak ada sama sekali.
     “Gus, ambilkan saya satu buah saja untuk jimat !”
     “Iya, Tuan !” jawab Kiai Shoheh Abu Solehan
      Kemudian Kiai Shoheh menyempatkan bertanya kepada tamunya.
     “Sampean berasal darimana ?”
     “Saya Kanjeng Adipati Bangil” katanya dengan tegas.
  “Tumbuhnya kelapa ini merupakan tanda-tanda karomahnya Romo Kiai Syekh Haji Mohammad Noer, dan saya wajib mengikutinya” kata Adipati Bangil itu katanya lagi dengan meyakinkan.
   Sebenarnya Kiai Shoheh Abu Sholehan sudah sangat faham kalau mertuanya itu sesungguhnya sudah sampai pada derajat auliya’ illah, namun beliau belum berani menyebut dan mengatakan wali quthub.
   Dua tahun telah berlalu mulailah beliau kembali mengajar para santrinya lagi, yang dilaksanakan setelah sholat shubuh. Kitab-kitab yang diajarkan antara lain Kitab Ihya’ Ulumiddin, Kitab Fathul Uluhiyyah, Kitab Insan Kamil, Kitab Jami’u Ushulil Auliya’, Kitab Tafsir dan Kitab Al-Hikam. Namun cara mengajarnya kini sudah berbeda dari sebelum mujahadah dibuka. Murodnya (penjelasan) sudah disampaikan terlebih dahulu dan setelah dibuka kitabnya sangat cocok dengan apa yang telah disampaikan itu. Dan tatkala kitabnya dibuka hanya lafalnya saja dengan mengatakan ;
       “Ulama utara, ulama barat, ulama timur, ulama selatan, ulama atas, ulama bawah dunia akhirat semua datanglah ke sini. Semua saya ajari tentang ma’rifat, kalau sudah bisa  cobalah berkata seperti saya” katanya.
Beliau tidak pernah mengatakan atau mengakui dengan langsung bahwa dirinya adalah seorang auliya’ tapi hanya mengatakan kepada Kiai Shoheh Abu Solehan sebagai menantunya. Syekh Haji Mohammad Noer pernah mengatakan begini ;
      “Anak menantuku, bagaimana orang ma’rifat kepada Allah itu ?” maka jawab Kiai Shoheh Abu Solehan.
      "Orang ma'rifat kepada Allah itu seperti saya melihat matahari, sedangkan besarnya matahari 160 kali besar bumi yang seperti berada dalam mata saya". Begitu juga orang yang ma'rifat kepada Allah, mata hatinya sudah muat dan mampu untuk melihat Dzat Allah". Katanya dengan mantap.
Kiai Shoheh Abu Solehan disebut-sebut sebagai sahabat nomor satu dari beliau, keluasan ilmunya juga dapat dipandang hampir sepadan dengan beliau.
Selanjutnya dikatakan oleh beliau, "sebelum saya terbuka tentang  ma'rifat  kepada Allah, tiap-tiap benda yang samar akan tampak kelihatan dan mengaku sendiri namanya seperti waktu sholat Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya', Subuh dan seterusnya".
Selanjutnya dikatakan bahwa emas, intan berlian yang bertaburan tetap tidak saya toleh atau tidak peduli karena kalau dilihat maka akan batal (gugurIah) mujahadah yang saya jalani. Semua itu merupakan godaaan dalam melaksanakan ibadah tersebut. Bersambung.

Disusun oleh : Zainollah, S.Pd (Koordinator Forkom Bhattara Saptaprabhu)   

0 komentar:

Post a Comment