Tuesday 20 October 2015

MAKALAH HAQIQI DAN MAJAZI (TASYBIH, ISTI'ARAH DAN KINAYAH)

Lihat versi PDF untuk mengutip di sini

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, yang sangat jelas dan terang. “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab agar kalian memahaminya” (QS: Yusuf : 2).
Untuk memahami al-Qur’an dengan baik, tentulah seseorang itu harus menguasai bahasa Arab dengan baik pula. Tanpanya al-Qur’an tidak akan mampu dikuasai.
Al-Qur’an yang terangkum di dalamnya tentang tauhid, syari`at, akhlak, dan sebagainya memiliki berbagai macam cara dalam penyampaian makna yang disebut dengan gaya bahasa al-Qur’an.
Gaya bahasa yang dimiliki al-Qur’an sangat bervariasi, mulai dari amtsal, qasam, qasas, jadal, khabar, al-insya’, tasybih, isti`arah, haqiqah, majaz, dan sebagainya. Pada beberapa kalimat pada al-Qur’an, ada yang bermakna khusus, ada pula yang bermakna umum. Namun pada kesempatan ini, penulis akan membahas pokok bahasan dari gaya bahasa al-Qur`an tersebut yaitu Haqiqah dan Majaz, juga pembahasan sekelumit Tasybih, Isti’arah dan Kinayah.
                     
B.     Rumusan Masalah
Dalam pembahasan ini, penulis merumuskan beberapa hal yang akan menjadi tujuan makalah ini, yaitu sebagai berikut :
1.      Apa pengertian, klasifikasi dan signifikasi Haqiqah?
2.      Apa pengertian, klasifikasi dan signifikasi Majaz?
3.      Apa pengertian, rukun-rukun, kalsifikasi serta maksud dan tujuan Tasybih?
4.      Apa pengertian dan macam-macam isti’arah?
5.      Apa pengertian, sebab-sebab dan klasifikasi kinayah?


6.       
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Haqiqah
1.      Pengertian Haqiqah dalam Al Quran
Haqiqah dalam pengertian bahasa, berasal dari bahasa Arab yang artinya nyata, kenyataan, atau asli. Haqiqah  dari kata haqqa yang berarti tetap. Sebagai makna subjek (fā’il) memiliki arti yang tetap, atau sebagai objek (maf’ūl) yang berarti ditetapkan[1]. Haqiqah berarti adalah sebuah kata yang maknanya asli sebagaimana yang ditetapkan di dalam al-Qur’an.
Haqiqah menurut istilah, adalah kata yang digunakan sebagaimana pertama kali dipergunakan dalam konteks kebahasaan[2]. Menurut Ibnu Subki menyatakan bahwa hakikat adalah lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya. Ibnu Qudamah mendefinisikannya sebagai lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula. Sementara Al-Sarkhisi berpendapat bahwa hakikat adalah setiap lafaz yang ditentukan menurut asalnya untuk hal tertentu[3].
Berdasarkan beberapa istilah diatas, haqiqah adalah sebuah kata dalam ayat al-Qur’an yang digunakan seperti makna semulanya yang telah ditentukan, dan memiliki tujuan tertentu.
2.      Klasifikasi Haqiqah dalam al-Qur’an
Haqiqah diklasifikasikan ke dalam 2 bentuk, yaitu :
a.      Lughawiyyah Wadh`iyyah
Lughawiyyah Wadh`iyyah atau biasa disebut dengan al-haqiqah al-lughawiyyah ini adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan makna hakiki berdasarkan konteks penggunaan asal kata tersebut. Contohnya kata ar-rajul yang digunakan untuk mennyebut laki-laki dewasa.

b.      Lughawiyyah Manqulah
Lughawiyyah Manqulah ini adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan makna hakiki setelah mengalami transformasi atau perubahan makna. Perubahan ini dilakukan oleh ahli bahasa, atau syari’at. Pada bagian ini, terbagi kedalam dua bentuk pula, yaitu :
1)      Haqiqah lughawiyyah `urfiyyah
Yaitu kata yang mengalami transformasi makna, dari makna asal penggunaannya kepada makna lain yang kemudian makna tersebut menjadi populer sehingga makna asalnya ditinggalkan.
Contohnya, kata ad-dabbah yang artinya hewan melata, konotasinya bisa manusia dan hewan. Namun kemudian digunakan oleh orang Arab dengan konotasi hewan berkaki empat saja sehingga makna awalnya ditinggalkan.
2)      Haqiqah lughawiyyah syar`iyyah
Yaitu kata yang mengalami trasformasi makna, dari makna asal kepada makna yang lain yang digunakan oleh pembuat syri`at. Makna yang lain ini berdasarkan dalil syari’at, contohnya shalat, shiyam, al-kufr, dan sebagainya[4].
Dari beberapa klasifikasi haqiqah tersebut,  dapat disimpulkan bahwa haqiqah lughowiyyah wadh`iyyah adalah kata yang digunakan sesuai makna hakikinya, sedangkan haqiqah lughowiyyah manqulah adalah makna yang menunjukkan makna asal setelah mengalami transformasi makna, baik secara bahasa, maupun secara syari`at.
3.      Signifikansi Haqiqah dalam al-Qur’an
Setelah memahami haqiqah dari berbagai macam pengertian, dan melihat dari klasifikasinya, haqiqah memiliki signifikansi sebagai berikut :
a.       Dengan mempelajari haqiqah, dapat memahami suatu makna kata yang terdapat didalam al-Qur’an dengan baik;
b.      Kemudian dapat membedakan, antara kata yang harus diartikan sebagaimana bentuk asalnya, dan mana pula kata yang harus dimaknai setelah mengalami transformasi;
c.       Dapat memahami bahwa kata asal yang mengalami transformasi dengan kata lain, memiliki kaitan yang erat dan memiliki maksud tertentu.

B.     Majaz
Bentuk majaz dalam al-Quran, dari bentuk denotatif (haqiqah) ke bentuk metafora (majaz). Menurut Abd al-Qahir al-Jurjani (471 H) majaz adalah kebalikan haqiqah. Sebuah kata yang mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa mengundang kemungkinan makna lain disebut dengan haqiqah. Sedangkan majaz adalah sebaliknya, yaitu perpindahan makna dasar ke makna lainnya, atau pelebaran medan makna dari makna dasar karena ada alasan tertentu. Secara teoritik, majaz adalah peralihan makna dari yang leksikal menuju yang literer, atau dari yang denotatif menuju yang konotatif karena ada alasan-alasan tertentu.[5]
1.      Definisi Majaz
Majaz secara etimologis berasal dari kata bahasa Arab المجاز, bentuk masdar (infinitif) dari kata جاز.[6] Sedangkan secara terminologis para ulama telah banyak mendefinisikannya dengan beberapa ibarah atau perkataan, diantaranya :[7]
a.       Ibn Qutaibah mendefinisikannya sebagai bentuk gaya tutur, atau seni bertutur.
b.      Sibawayh mendefinisakannya dengan seni bertutur yang memungkinkan terjadinya perluasan makna.
c.       Al-Mubarrad mengatakan bahwa majaz merupakan seni bertutur dan berfungsi untuk mengalihkan makna dasar yang sebenarnya.
d.      Al-Qaadhy ‘Abd al-Jabbaar mengatakan bahwa majaz adalah peralihan makna dari makna dasar atau leksikal ke makna lainnya, yang lebih luas.
e.       Ibn Jinny dan Al-Jurjaany menempatkan majaz sebagai lawan dari haqiqat, dan makna haqiqat menurut Ibnu Jinny adalah makna dari setiap kata yang asli, sedangkan majaz adalah sebaliknya, yaitu setiap kata yang maknanya beralih kepada makna lainnya. Sedangkan menurut Al-Jurjaany haqiqah adalah sebuah kata yang mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa mengundang kemungkinan makna lain disebut, sedangkan majaz adalah peralihan makna dasar ke makna lainnya, karena alasan tertentu, atau pelebaran medan makna dari makna dasarnya.
2.      Klasifikasi Majaz Dalam Al Quran
a.       Majaz Fi Al-Mufrad
Majaz fi al-murad adalah majaz yang menggunakan lafadz bukan pada permulaan asal peletakannya. Macam ini disebut juga majaz al-lughawi, dan ia terbagi ke dalam beberapa macam :[8]
1)      Al-hadzfu atau an-naqsu, yaitu majaz yang menitikberatkan pada adanya lafadz yang tersembunyi.
Contohnya dalam surat Yusuf: 82
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا
Artinya: "Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu".
Di dalam ayat ini tersimpan lafadz yang tersembunyi sebelum lafadz  القرية (negri), yaitu    lafadz أهل (penduduk).
2)      Az-Ziyaadah,yaitu majaz yang menitikberatkan pada adanya lafadz atau hurup tambahan.
Contohnya dalam surat Asy-Syuuraa: 11
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Artinya: "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia"
Sebagian ulama mengatakan bahwa hurup ك di depan lafadz مثله secara makna muradnya merupakan tambahan.
3)      Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz plural (jama') namun yang dimaksudkan adalah sebagian saja.
Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 19:
يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ
Artinya: "Mereka menyumbat telinganya dengan (anak) jarinya".
Kata أصابع di atas secara leksikal atau makna yang sebenarnya adalah jari-jari. Kiranya mustahil bagi orang-orang munafik Mekkah menyumbat telinganya dengan semua jari karena takut bunyi guntur yang mematikan. Tetapi yang dimaksud أصابع dalam ayat tersebut adalah sebagian dari jari-jari, bukan semuanya.
4)      Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz yang merupakan bagian dari suatu nama benda, namun yang dimaksudkan adalah keseluruhannya; bukan sebagiannya.
Contohnya dalam surat Ar-Rahman: 27
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ
Artinya: "Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu".
Lafadz وجه (Wajah) di dalam ayat ini merupakan bagian dari ذات (Dzat) Tuhan, namun di dalam ayat tersebut tidak di ambil makna وجه tetapi dimaknai ذات (Dzat).
5)      Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz khas(khusus), namun yang dimaksudkan adalah 'aam (makna umumnya).
Contohnya dalam surat Al-Munafiqun: 4
هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ
Artinya:"Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka".
Lafadz العدو (musuh) di dalam ayat tesebut maksudnya adalah الأعداء (semua musuh).
6)      Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz 'aam(umum), namun yang dimaksudkan adalah khas (makna khususnya).
Contohnya dalam surat Asy-Syuuraa: 5
وَيَسْتَغْفِرُونَ لِمَنْ فِي الْأَرْضِ
Artinya: "Dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi".
Lafadz من (orang) di dalam ayat tersebut di maksudkan khusus bagi المؤمنون (orang-orang yang beriman.
7)      Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz al-'malzuum(yang diharuskan), namun yang dimaksudkan adalah al-laazim (yang mengharuskan).
Contohnya dalam surat Al-An'am: 39
صُمٌّ وَبُكْمٌ فِي الظُّلُمَاتِ
Artinya: "Pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita".
Kalimat في الظلمات (dalam kegelapan) di dalam ayat tersebut -secara majaz- dari segi asalnya adalah lafadz عمي (buta), karena di dalam ayat lain di sebutkan: صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ, maka penyebutan في الظلمات di dalam ayat tersebut dikarenakan kalimat tersebut termasuk dari keharusan orang yang buta, artinya mata orang yang buta pasti merasakan gelap gulita.
8)      Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz al-laazim(yang mengharuskan), namun yang dimaksudkan adalah al-'malzuum (yang diharuskan).
Contohnya dalam surat Al-Maaidah: 112
هَلْ يَسْتَطِيعُ رَبُّكَ أَنْ يُنَزِّلَ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ
Artinya: "Sanggupkah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?"
Lafadz يستطيع (sanggup/bisa) di dalam ayat tersebut -secara majaz- dari segi asalnya adalah lafadz يفعل (melakukan), hal ini dikarenakan kesanggupan mengharuskan untuk melakukan.
9)      Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz al-musabbab (akibat), namun yang dimaksudkan adalah as-sabab (sebab).
Contohnya dalam surat Al-Mu'min: 13
وَيُنَزِّلُ لَكُمْ مِنَ السَّمَاءِ رِزْقاً
Artinya: "Dan menurunkan untukmu rezki dari langit".
Lafadz رزقا (rizki) di dalam ayat ini merupakan akibat dari turunnya مطر (hujan)
10)  Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz as-sabab(sebab), namun yang dimaksudkan adalah al-musabbab(akibat).
                        Contohnya dalam surat Al-Baqarah:
فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ
Artinya: "Barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu".
Lafadz اعتدوا makna asalnya adalah "Lakukanlah kezaliman" Makna ini tidak bisa dipakaikan karena bertentangan dengan ajaran Islam, yang melarang dari berbuat zalim. Jika kita artikan dengan makna majaz, bisa dipahami bahwa kata اعتدوا merupakan sebab dari makna yang dimaksud, karena kezaliman merupakan penyebab adanya جزاء (balasan). Jadi makna dari اعتدو  adalah "Balaslah".
11)  Menamakan sesuatu dengan nama yang biasa disebutkan setelah ia mengalami proses tertentu.
Contohnya dalam surat Yusuf: 36
إِنِّي أَرَانِي أَعْصِرُ خَمْراً
Artinya: "Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku memeras anggur".
Lafadz خمر (arak) yang di sebutkan di dalam ayat ini adalah nama minuman yang di buat dari perasan عنب (anggur).
12)  Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz al-hal(keadaan), namun maksudnya adalah al-mahal (tempat) yang keadaannya seperti yang di ungkapkan tersebut).
Contohnya dalam surat Ali Imron: 107
فَفِي رَحْمَةِ اللَّهِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya: "Maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya".
Lafadz رحمة الله (rahmat Allah) di dalam ayat ini, maksudnya adalah الجنة (surga), hal ini karena keadaan surga penuh dengan rahmat Allah.
13)  Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz al-mahal(tempat), namun maksudnya adalah al-hal (keadaannya).
Contohnya dalam surat Al-'Alaq: 17
فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ
Artinya: "Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya)".
Lafadz نادية adalah nama suatu tempat, dan yang di maksudkan di dalam ayat ini adalah penduduk yang mendiami tempat tersebut.
Menamakan sesuatu dengan nama alatnya.
Contohnya dalam surat Ibrahim: 4
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ بِلِسَانِ قَوْمِهِ
Artinya: "Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya".
Lafadz لسان (lisan) di dalam ayat ini merupakan alat untuk melafalkan bahasa, oleh karena itu lafadz tersebut di maknai secara majaz, yaitu bahasa.
14)  Menamakan sesuatu dengan nama kebalikannya atau mengungkapkan suatu lafadz yang biasa di gunakan untuk sesuatu kebalikannya.
Contohnya dalam surat Al-Insyiqaaq: 24
فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya: "Maka beri kabar gembiralah mereka dengan azab yang pedih".
Lafadz بشّر di dalam ayat ini biasanya di gunakan untuk الخبر السار (kabar/berita yang menyenangkan/menggembirakan), namun di dalam ayat tersebut di gunakan untuk kabar berita yang tidak menyenangkan sekali, yaitu عذاب أليم (azab yang pedih).
15)  Mengidhafahkan atau menghubungkan fi'il (kata kerja) kepada sesuatu yang tidak biasanya di hubungkan dengannya.
Contohnya dalam surat Al-Kahfi: 77
فَوَجَدَا فِيهَا جِدَاراً يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ
Artinya: "Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka (Khidhr) menegakkan dinding itu".
Fi'il يريد (ingin) di dalam ayat ini biasanya di hubungkan dengan الحي (makhluk hidup), sedangkan di dalam ayat ini di hubungkan dengan lafadz جدار (dinding).
16)  Menyampaikan ungkapan tentang sesuatu dengan fi'il (kata kerja), namun maksudnya adalah dari segi kedekatan makna fi'il tersebut terhadapnya atau dari segi kemulyaannya atau keinginannya.
Contohnya dalam surat An-Nahl: 61 dan Al-Maaidah: 6

فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
Artinya: "Maka apabila telah tiba waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya".
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا
Artinya: "Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah.."
Fi"il جاء (telah tiba) yang di kaitkan dengan lafadz أجل (saat kematian) di dalam ayat pertama maksudnya قرب مجيئه(mendekati tibanya saat kematian). Dan fi'il قمتم (kalian mengerjakan) yang di hubungkan dengan lafadz الصلاة(shalat) di dalam ayat kedua maksudnya أردتم القيام (kalian ingin mengerjakan).
17)  Menempatkan dua lafadz secara terbalik.
Contohnya dalam surat Ar-Ru'd: 38
لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ
Artinya: "Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)".
Lafadz كتاب (kitab) seyogyanya di dahulukan dan lafadz أجل(masa akhir) di akhirkan, yakni لكل كتاب أجل (bagi tiap-tiap kitab ada masa akhirnya).
18)  Menempatkan suatu shighah (bentuk suatu lafadz) pada kedudukan shighah lain.
Contohnya dalam surat Al-Baqarah: 255
وَلا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ
Artinya: "Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah".
Lafadz علم (ilmu) di dalam ayat ini bershighah مصدر (kata dasar), sedangkan yang seyogyanya adalah shighah المفعول(kata kerja transitif) dari lafadz tersebut, yakni: معلوم (yang di ketahui), sehingga seyogyanya ayat tersebut bermakna:"Dan mereka tidak mengetahui apa-apa yang diketahui oleh Allah".
19)  Menamakan sesuatu dengan nama yang biasa disebutkan sebelumnya.
Contohnya dalam surat Thaahaa: 74
مَنْ يَأْتِ رَبَّهُ مُجْرِماً فَإِنَّ لَهُ جَهَنَّمَ
Artinya: "Barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan berdosa, maka sesungguhnya baginya neraka Jahannam".
Di dalam ayat ini orang yang datang kepada Tuhannya pada hari kiamat di namai مجرم (penjahat), hal itu di sesuaikan dengan keadaan dia sewaktu melakukan kejahata/dosa di dunia ini.
b.      Majaz Fi At-Tarkiib
Majaz fi at-tarkiib adalah majaz yang menyandarkan suatu perbuatan atau kesangsian kepada sesuatu yang tidak memiliki originalitas, dikarenakan adanya hubungan keterkaitan antara keduanya. Majaz ini di sebut juga majaz al-aql dan majaz al-isnaad.[9]
Contohnya dalam surat Al-Anfaal: 2
وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً
Artinya: "Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya)".
Di dalam ayat ini terdapat suatu perbuatan Allah, yaitu الزيادة(penambahan), yang di sandarkan kepada الآيات (ayat-ayat), hal ini karena dengan dibacakannya ayat-ayat tersebut menjadi sebab bertambahnya keimanan mereka.
Majaz ini terbagi ke dalam empat macam, yaitu sbb:
1)      Penyandaran yang kedua sisnya adalah haqiqat (makna asli).
Contohnya dalam surat Az-Zalzalah: 2
وَأَخْرَجَتِ الأَرْضُ أَثْقَالَهَا
Artinya: "Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung) nya".
Penggunaan lafadz أخرج (telah mengeluarkan) dan الأرض(bumi) di dalam ayat ini adalah secara haqiqat.
2)      Penyandaran yang kedua sisanya adalah majaz.
Contohnya dalam surat Al-Baqarah: 16
فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ
Artinya: "Maka tidaklah beruntung perniagaan mereka".
Penggunaan lafadz ربح (beruntung) dan تجارة (perniagaan) di dalam ayat ini adalah secara majaz.
3)      Penyandaran yang sisi pertamanya haqiqat dan sisi lainya majaz.
Contohnya dalam surat Ar-Ruum: 35
أَمْ أَنْزَلْنَا عَلَيْهِمْ سُلْطَاناً
Artinya: "Atau pernahkah Kami menurunkan kepada mereka keterangan".
Penggunaan lafadz أنزل (telah menurunkan) di dalam ayat ini adalah secara haqiqat, sedangkan penggunaan lafadz سلطان(kekuasaan) adalah secara majaz sehingga ia di maknai برهان(dalil/keterangan).
4)      Penyandaran yang sisi pertamany majaz dan sisi lainya haqiqat.
Contohnya dalam surat Al-Ma'aarij: 15-17
كَلَّا إِنَّهَا لَظَى.  نَزَّاعَةً لِلشَّوَى.  تَدْعُو مَنْ أَدْبَرَ وَتَوَلَّى
Artinya: "Sekali-kali tidak dapat, sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergolak, yang mengelupas kulit kepala, yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama)".
Penggunaan lafadz تدعو (memanggil) di dalam ayat ini adalah secara majaz karena di sandarkan kepada lafadz النار (api neraka).
3.      Signifikasi Majaz
Diantara faedah-faedah penggunaan majaz adalah sebagai berikut :[10]
a.       Al-iijaz yakni memperingkas suatu kalimat atau ungkapan.
b.      Memperluas lafadz, dimana seandainya suatu lafadz tidak dimajazkan maka setiap makna hanya memiliki satu komposisi.
c.       Menampilkan suatu makna dalam suatu gambaran yang dalam dan dekat kepada akal fikiran.

C.    Tasybih
1.      Pengertian Tasybih
Tasybih adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain karena memiliki kesamaan sifat di antara kedua hal tersebut, dengan menggunakan adat (alat) tasybih, baik disebutkan maupun tidak.[11]
2.      Rukun-rukun Tasybih
Adapun rukun-rukun Tasybih adalah sebagai berikut :
a.             Musyabbah (sesuatu yang hendak diserupakan)
b.             Musyabbah bih (sesuatu yang diserupai)
c.             Wajhus syibhi (sifat yang terdapat pada kedua hal itu)
d.            Adaatut tasybih (huruf/kata yang menyatakan penyerupaan)
e.             Musyabbah dan musyabbah bih disebut juga tharafait tasybih.
3.      Klasifikasi Tasybih
a.       Tasybih mursal
Tasybih mursal adalah tasybih yang adat tasybihnya disebutkan.
b.      Tasybih muakkad
Tasybih muakkad adalah tasbih yang adat tasybihnya tidak disebutkan
c.       Tasybih mujmal
Tasybih mujmal adalah tasybih yang tidak disebutkan wajh syibhnya
d.      Tasybih mufashal
Tasybih mufashal adalah tasybih yang disebutkan wajah syibhnya
e.       Tasybih baligh
Tasybih baligh tasybih yang tidak disebutkan wajah syibh dan adat tasybihnya.
4.      Maksud dan Tujuan Tasybih
a.       Menjelaskan kemungkinan terjadinya sesuatu pada musyabbah
b.      Menjelaskan keadaan musyabbah
c.       Menjelaskan kadar keadaan musyabbah
d.      Menegaskan keadaan musyabbah
e.       Memperindah atau memperburuk musyabbah

D.    Isti’aroh
Isti’aroh adalah tasybih yang dibuang salah satu tharaif nya (musyabbah/musyabbah bih). Sehingga, hubungan antara makna hakiki dan makna majazi selalu musyabahah (saling menyerupai).[12]
Adapun macam-macam isti’aroh sebagai berikut:
1.            Isti’aroh Tashrihiyyah, yaitu isti’aroh yang dibuang musyabbahnya.
2.            Isti’aroh Makniyyah, yaitu isti’aroh yang dibuang musyabbahbihnya
3.            Isti’aroh Ashliyyah, yaitu isti’aroh yang menggunakan isim jamid.
4.            Isti’aroh Tabaiyyah, adalah isti’aroh yang menggunakan lafadz isim fi’il.
5.            Isti’aroh Murasyahah, adalah isti’aroh yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah bih.
6.            Isti’aroh Mujarrodah, adalah Isti’aroh yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah.
7.            Isti’aroh Muthlaqoh, adalah isti’aroh yang tidak disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah bih atau musyabbah.
8.            Isti’aroh Tamtsiliyyah, adalah suatu susunan kalimat yang digunakan bukan pada makna aslinya karena ada hubungan keserupaan antara makna asli dan makna majazi, dengan disertai karinah yang mencegah peletakkan pada makna asli.

E.     Kinayah
1.      Definisi Kinayah
Kinayah secara etimologis berasal dari kata bahasa arab الكناية, bentuk masdar (infinitif) dari kata كَنَى
Sedangkan secara terminologis kinayah adalah suatu lafadz yang diungkapkan dengan menitikberatkan kepada makna seharusnya beserta membolehkan penyebutan makna aslinya.[13]
2.      Sebab-sebab Kinayah
Kinayah memiliki beberapa sebab, diantaranya :[14]
a.       Peringatan akan keagungan kekuasaan Allah swt, seperti firman-Nya mengenai kinayah tentang Nabi Adam dalam surat Al-A'raf: 189:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ واحِدَةٍ
Artinya: "Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu".
b.      Kecerdasan yang berbicara, seperti firman Allah swt mengenai kinayah tentang Zaid dalam surat Al-Ahzaab: 40:
ما كانَ مُحَمَّدٌ أَبا أَحَدٍ مِنْ رِجالِكُمْ
Artinya: "Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu".
c.       Meninggalkan suatu lafadz kepada lafadz yang lebih indah darinya atau menggantikannya dengan lafadz indah tersebut, seperti kinayah lafadz النعجة (kambing betina) mengenai المرأة(wanita) dalam firman Allah swt surat Shaad: 23:
إِنَّ هذا أَخِي لَهُ تِسْعٌ وَتِسْعُونَ نَعْجَةً وَلِيَ نَعْجَةٌ واحِدَةٌ
Artinya: "Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja"
Menyebutkan suatu lafadz yang vulgar atau kasar di dengar, maka dikinayahkan dengan lafadz yang tidak vulgar atau tidak kasar di dengar, seperti kinayah tentang الجماع  (bersenggama) dengan lafadz الملامسة  (bersentuhan) sebagaimana dalam firman Allah swt surat An-Nisa: 43:
أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ
Artinya: "Atau kamu telah menyentuh perempuan".
d.      Membaguskan suatu lafadz, seperti kebiasaan orang arab mengkinayahkan حرائر النساء (pakaian sutra perempuan) denganالبيض (telur), hal ini juga sebagaimana firman Allah swt dalam surat Ash-Shaaffaat: 49:
بَيْضٌ مَكْنُونٌ
Artinya: "Telur (burung unta) yang tersimpan dengan baik".
e.       Bermaksud untuk menceritakan kepandaian atau kemahiran, seperti kinayah tentang النساء (wanita) bahwa mereka dibesarkan dalam keadaan الترفه  (kemewahan) dan التزيين(berhias), sebagaimana firman Allah swt dalam surat Az-Zukhruf: 18:
أَوَ مَنْ يُنَشَّؤُا فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصامِ غَيْرُ مُبِينٍ
Artinya: "Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan".
f.       Bermaksud untuk melebih-lebihkan dalam mencaci maki, seperti lafadz الغُلُّ (terbelenggu) kinayah untuk البخل (kekikiran), sebagaimana firman Allah swt dalam surat Al-Israa: 29:
وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ
Artinya: "Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu".
g.      Peringatan terhadap ujung nasibnya, seperti ujung nasibnya Abu Lahab adalah اللهب (api yang berkobar) yakni jahannam, karena itulah Allah swt menyebut namanya denga أبو لهب (bapa api yang menyala) dalam surat Al-Masad: 1:
تَبَّتْ يَدا أَبِي لَهَبٍ
Artinya: "Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa".
h.      Bermaksud meringkas, diantaranya kinayah mengenai perbuatan-perbuatan yang beragam dengan lafadz (فعل), seperti firman Allah swt dalam surat Al-Baqarah: 24:
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا
Artinya: "Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya)".
Yakni: maka jika kamu tidak dapat mendatangkan satu surat yang seperti itu, dan pasti kamu tidak dapat mendatangkannya.
i.        Menitikberatkan kepada jumlah kalimat yang maknnya berbeda dengan makna dzahirnya, kemudian diambil kesimpulannya dengan tanpa mempertimbangkan kosakatanya dari segi haqiqat atau majaznya, sehingga diungkapkannya sesuai dengan maksudnya, seperti lafadz الاستواء (Arsy) kinayah mengenai الملك (kekuasaan) sebagaimana firman Allah dalam surat Thaahaa: 5:
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى
Artinya: "Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy".
3.      Klasifikasi Kinayah
Ulama ahli bayan membagi kinayah ke dalam tiga macam, yaitu sebagai berikut  :[15]
a.       Kinayah sifat
Kinayah sifat dapat diketahui dari adanya penyebutan mausuf (yang disifati) dalam konteks kalimat, baik itu dari lafadznya atau ucapannya maupun dari dzahirnya.
Misalnya seperti penyebutan lafadz الصديق yakni Abu bakar , الفاروق yakni Umar dan سيف الله  yakni Khalid bin Walid.
Contoh dari al-Qur'an misalnya firman Allah swt yang menyebutkan sifat-sifat Rasulullah saw dalam surat Al-Ahzab: 45-46:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا.  وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُّنِيرًا
Artinya: "Wahaai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi".
b.      Kinayah mausuf (yang di sifati)
Kinayah mausuf dapat di ketahui dari adanya penyebutan sifat dalam konteks kalimat, baik itu dari segi penyebutannya secara langsung maupun dari segi pembawaannya.
Misalnya seperti penyebutan "yang mengucapkan ض" yakni orang Arab, دار السلام  yakni kota Baghdad dan طيبة  yakni Madinah Al-munawwarah.
Contoh dari al-Qur'an misalnya firman Allah swt mengenai kinayah tentang bahtera dalam surat Al-Qamar: 13:
وَحَمَلْنَاهُ عَلَى ذَاتِ أَلْوَاحٍ وَدُسُرٍ
Artinya: "Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan paku".
c.       Kinayah nisbah
Kinayah nisbah yaitu menisbatkan sesuatu kepada sesuatu yang lain, baik dengan penetapan bukti maupun penolakan atau sangkalan.
Misalnya dalam pepatah arab yang mengatakan: خير الناس من ينفع الناس (sebaik-baik manusia adalah orang yang memberi manfaat kepada sesama) terdapat kinayah mengenai penolakan adanya kebaikan di dalam diri orang yang tidak memberi manfaat kepada sesamanya.
Contoh dari al-Qur'an misalnya firman Allah swt mengenai kinayah tentang persediaan Allah swt untuk kelanggengan adanya langit dan bumi, seperti persediaan adanya daya listrik untuk kelanggengan adanya cahaya dalam lampu listrik, apabila persediaan daya listrik habis atau diputus maka tidak akan ada cahaya lampu listrik tersebut, hal ini sebagaimana disebutkan dalam surat Faathir: 41:
إنّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ والأَرْضِ أَنْ تَزُولاَ
Artinya: "Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap".



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Haqiqah adalah sebuah kata dalam ayat al-Qur’an yang digunakan seperti makna semulanya yang telah ditentukan, dan memiliki tujuan tertentu. Haqiqah diklasifikasikan ke dalam 2 bentuk, yaitu : Haqiqah Lughawiyyah Wadh`iyyah dan Haqiqah Lughawiyyah Manqulah (Pada bagian ini, terbagi kedalam dua bentuk pula, yaitu Haqiqah lughawiyyah `urfiyyah dan Haqiqah lughawiyyah syar`iyyah). Haqiqah memiliki signifikansi di antaranya : Dengan mempelajari haqiqah, dapat memahami suatu makna kata yang terdapat didalam al-Qur’an dengan baik, Kemudian dapat membedakan, antara kata yang harus diartikan sebagaimana bentuk asalnya, dan mana pula kata yang harus dimaknai setelah mengalami transformasi, Dapat memahami bahwa kata asal yang mengalami transformasi dengan kata lain, memiliki kaitan yang erat dan memiliki maksud tertentu.
Majaz adalah peralihan makna dasar ke makna lainnya, karena alasan tertentu, atau pelebaran medan makna dari makna dasarnya. Majaz ada dua, yaitu: Majaz Mufrad dan Majaz Fi at-Tarkib. Diantara faedah-faedah penggunaan majaz adalah : Al-iijaz yakni memperingkas suatu kalimat atau ungkapan, Memperluas lafadz, dimana seandainya suatu lafadz tidak dimajazkan maka setiap makna hanya memiliki satu komposisi, Menampilkan suatu makna dalam suatu gambaran yang dalam dan dekat kepada akal fikiran.
Tasybih adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain karena memiliki kesamaan sifat di antara kedua hal tersebut, dengan menggunakan adat (alat) tasybih, baik disebutkan maupun tidak. Adapun rukun-rukun Tasybih adalah : Musyabbah, Musyabbah bih, Wajhus syibhi, dan Adaatut tasybih. Klasifikasi Tasybih di antaranya : Tasybih mursal, Tasybih muakkad, Tasybih mujmal, Tasybih mufashal, dan Tasybih baligh. Maksud dan Tujuan Tasybih diantaranya adalah menjelaskan kemungkinan terjadinya sesuatu pada musyabbah, menjelaskan keadaan musyabbah, menjelaskan kadar keadaan musyabbah, menegaskan keadaan musyabbah, dan memperindah atau memperburuk musyabbah.
Isti’aroh adalah tasybih yang dibuang salah satu tharaif nya (musyabbah/musyabbah bih). Sehingga, hubungan antara makna hakiki dan makna majazi selalu musyabahah (saling menyerupai). Adapun macam-macam isti’aroh di antaranya: Isti’aroh Tashrihiyyah, Isti’aroh Makniyyah, Isti’aroh Ashliyyah, Isti’aroh Isti’aroh Murasyahah, Isti’aroh Mujarrodah, Isti’aroh Muthlaqoh, dan Isti’aroh Tamtsiliyyah.
Kinayah adalah suatu lafadz yang diungkapkan dengan menitikberatkan kepada makna seharusnya beserta membolehkan penyebutan makna aslinya. Di antara sebab-sebab kinyah adalah Peringatan akan keagungan kekuasaan Allah swt, kecerdasan yang berbicara, meninggalkan suatu lafadz kepada lafadz yang lebih indah darinya atau menggantikannya dengan lafadz indah tersebut, menyebutkan suatu lafadz yang vulgar atau kasar di dengar, maka dikinayahkan dengan lafadz yang tidak vulgar atau tidak kasar di dengar, membaguskan suatu lafadz, bermaksud untuk menceritakan kepandaian atau kemahiran, bermaksud untuk melebih-lebihkan dalam mencaci maki, peringatan terhadap ujung nasibnya, bermaksud meringkas, diantaranya kinayah mengenai perbuatan-perbuatan yang beragam dengan lafadz (فعل), dan menitikberatkan kepada jumlah kalimat yang maknnya berbeda dengan makna dzahirnya, kemudian diambil kesimpulannya dengan tanpa mempertimbangkan kosakatanya dari segi haqiqat atau majaznya, sehingga diungkapkannya sesuai dengan maksudnya. Ulama ahli bayan membagi kinayah ke dalam tiga macam, yaitu : Kinayah sifat, Kinayah mausuf (yang di sifati) dan Kinayah nisbah.

B.     Saran
Untuk membaca dan menafsirkan apa yang dikehendai oleh Allah, seorang mufassir dituntut untuk menguasai makna-makna dalam Al-Qur’an, baik makna haqiqi dan majazi. Oleh karena itu, sangat dianjurkan bagi para penuntut ilmu agar mempelajari ilmu ini dengan baik.


DAFTAR KEPUSTAKAAN


Abdurrahman, Hafidz. 2004. Ulumul Qur’an. Bogor.
Al-Ibyaarii,  Ibrahim, 1405 H , Al-Mausuu'ah al-Qur'aaniyah , Muassasah Sijil Al-Arab.
Al-Qoi'ii, Dr. Muhammad Abdulmun'im, 1996,  Al-Ashlaan Fi 'Ulum Al-Qur'an, , Dar Al-Mun'im Al-Qoi'ii,.
Arufin, Miftahul dan A. Faisal Haq. 1997. Ushul Fiqih : Kaidah-kaidah Pentapan Hukum Islam. Cet. I. Surabaya: Citra Media.

Ashari, S.Pd.I, Rahmat, Al-Haqiqah Dan Al-Majaz Dalam Al-Qur’an, (24 Juli 2013), http://rahmadashariuinsuska.blogspot.co.id, diunduh pada tanggal 9 Okotober 2015.

As-Sudais, Abdullah, Al-Majaaz 'Inda Al-Usuliyyin Bain Al-Mujiiziin Wa Al-Maani'iin,, Al-Maktabah Asy-Syaamilah.
As-Suhuud, Ali, Al-Khulaashah Fi 'Ilmu Al-Balaaghah, Al-Maktabah Asy-Syaamilah.
As-Suyuti, Al-Itqan Fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Maktabah Asy-Syaamilah.

Halimi, Majazi (Tasybih, Istiarah, Dan Kinayah), http://pascasarjana-halimi.blogspot.co.id, diunduh pada tanggal 9 Okotober 2015.

Syarifudin, Amir. 2008. Ushul Fiqih. Jilit 2Cet. V. Jakatra: Kencana.







[1]Amir Syarifudin, 2008, Ushul Fiqih, Jilit 2, Cet. V, Jakatra: Kencana,  h. 345
[2]Hafidz Abdurrahman, 2004, Ulumul Qur’an, Bogor, h.125.
[3]Miftahul Arufin dan A. Faisal Haq. Ushul Fiqih : Kaidah-kaidah Pentapan Hukum Islam, Cet. I, Surabaya: Citra Media, 1997, h. 175
[4]Hafidz Abdurrahman, 2004, Ulumul Qur’an, Bogor, h.125-126
[5]http://www.referensimakalah.com/2012/12/bentuk-majaz-dalam-al-quran.html
[6]Abdullah As-Sudais, Al-Majaaz 'Inda Al-Usuliyyin Bain Al-Mujiiziin Wa Al-Maani'iin,, Al-Maktabah Asy-Syaamilah, hal. 7
[7]http://infopesantren.web.id/ppssnh.malang/cgibin/content.cgi/artikel/dialektika_gaya_bahasa_quran.single.
[8]As-Suyuti, Al-Itqan Fi 'Ulum Al-Qur'an hal. 122-128
[9]As-Suyuti, Al-Itqan …. hal. 120-121.
[10]Ali As-Suhuud, Al-Khulaashah Fi 'Ilmu Al-Balaaghah, hal. 42
[11]http://kindhearte.blogspot.com/2013/05/makalah-balaghoh-tasybih-majaz-istiarah.html
[12]http://kindhearte.blogspot.com/2013/05/makalah-balaghoh-tasybih-majaz-istiarah.html
[13]Dr. Muhammad Abdulmun'im Al-Qoi'ii, Al-Ashlaan Fi 'Ulum Al-Qur'an, , Dar Al-Mun'im Al-Qoi'ii, 1996, cet IV, hal. 314.
[14]Ibrahim Al-Ibyaarii, Al-Mausuu'ah al-Qur'aaniyah , Muassasah Sijil Al-Arab, 1405 H, hal. 1097
[15]Ali As-Suhuud, Al-Khulaashah … hal. 52-53

0 komentar:

Post a Comment