Tuesday 20 October 2015

MAKALAH ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI

Lihat tampilan versi PDF di sini.

BAB I

PENDAHULUAN

              A. Latar Belakang
Filsafat merupakan sikap atau pandangan hidup dan sebuah bidang terapan untuk membantu individu untuk mengevaluasi keberadaannya dengan cara yang lebih memuaskan. Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang telah layak, filsafat perlu pemahaman bagi seseorang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan karena ia menentukan pikiran dan pengarahan tindakan seseorang untuk mencapai tujuan.
Filsafat membahas segala sesuatu yang ada bahkan yang mungkin ada baik bersifat abstrak ataupun riil meliputi Tuhan, manusia dan alam semesta. Sehingga untuk faham betul semua masalah filsafat sangatlah sulit tanpa adanya pemetaan-pemetaan dan mungkin kita hanya bisa menguasai sebagian dari luasnya ruang lingkup filsafat.
Sistematika filsafat secara garis besar ada tiga pembahasan pokok atau bagian yaitu; epistemologi atau teori pengetahuan yang membahas bagaimana kita memperoleh pengetahuan, ontologi atau teori hakikat yang membahas tentang hakikat segala sesuatu yang melahirkan pengetahuan dan aksiologi atau teori nilai yang membahas tentang guna pengetahuan. Sehingga, mempelajari ketiga cabang tersebut sangatlah penting dalam memahami filsafat yang begitu luas ruang lingkup dan pembahansannya.
Ketiga teori di atas sebenarnya sama-sama membahas tentang hakikat, hanya saja berangkat dari hal yang berbeda dan tujuan yang beda pula. Epistemologi sebagai teori pengetahuan membahas tentang bagaimana mendapat pengetahuan, bagaimana kita bisa tahu dan dapat membedakan dengan yang lain. Ontologi membahas tentang apa objek yang kita kaji, bagaimana wujudnya yang hakiki dan hubungannya dengan daya pikir. Sedangkan aksiologi sebagai teori nilai membahas tentang pengetahuan kita akan pengetahuan di atas, klasifikasi, tujuan dan perkembangannya.
B.    Rumusan Masalah
1.       Apa itu ontologi?
2.      Apa itu Epistemologi?
3.      Apa itu Aksiologi?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Ontologi
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu ta onta berarti “yang berada”, dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Maka ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan.[1]
Namun pada dasarnya term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf
Goclenius pada tahun 1636 M. untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembanganya Cristian Wolff membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.[2]
Bidang pembicaraan teori hakikat luas sekali, segala yang ada yang mungkin ada, yang boleh juga mencakup pengetahuan dan nilai (yang dicarinya ialah hakikat pengetahuan dan hakikat nilai). Nama lain untuk teori hakikat ialah teori tentang keadaan. Hakikat ialah realitas, realitas ialah kerealan, real artinya kenyataan yang sebenarnya, jadi hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya, keadaan sebenarnya sesuatu, bukan keadaan sementara atau keadaan yang menipu, bukan keadaan yang meberubah.[3]
Ontologi menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda dimana entitas (wujud)  dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisik, hal universal, abstraksi) dapat dikatakan ada dalam rangka tradisional. ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaianya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.
Ontologi sering diindetikan dengan metafisika yang juga disebut proto-filsafia atau filsafat yang pertama, atau filsafat ketuhanan yang bahasanya adalah hakikat sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab akibat, realita, atau Tuhan dengan segala sifatnya.[4]
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip paling dasar atau dalam dari segala sesuatu yang ada.
Para ahli memberikan pendapatnya tentang realita itu sendiri, diantaranya Bramel. Ia mengatakan bahwa ontologi ialah interpretasi tentang suatu realita dapat bervariasi, misalnya apakah bentuk dari suatu meja, pasti setiap orang berbeda-beda pendapat mengenai bentuknya, tetapi jika ditanyakan bahanya pastilah meja itu substansi dengan kualitas materi, inilah yang dimaksud dari setiap orang bahwa suatu meja itu suatu realita yang kongkrit. Plato mengatakan jika berada di dua dunia yang kita lihat dan kita hayati dengan kelima panca indra kita nampaknya cukup nyata atau real.
Adapun mengenai objek material ontologi ialah yang ada, yaitu ada individu, ada umum, ada terbatas, ada tidak terbatas, ada universal, ada mutlak, termasuk kosmologi dan metafisika dan ada sesudah kematian maupun sumber segala yang ada. Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas, bagi pendekatan kualitif, realitas tranpil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya menjadi telaah monism, paralerisme atau plurarisme.[5]
Fungsi dan manfaat mempelajari ontologi sebagai cabang filsafat ilmu antara lain:
Pertama : berfungsi sebagai refleksi kritis atas objek atau bidang garapan, konsep-konsep, asumsi-asumsi dan postulat-postulat ilmu. Di antara asumsi dasar keilmuan antara lain:       
(1)     dunia ini ada, dan kita dapat mengetahui bahwa dunia ini benar-benar ada.
(2)    dunia empiris itu dapat diketahui oleh manusia dengan pancaindera.
(3)    fenomena yang terdapat di di dunia ini berhubungan satu dengan lainnya secara kausal.
Kedua: Ontologi membantu ilmu untuk menyusun suatu pandangan dunia yang integral, komphrehensif dan koheren. Ilmu dengan ciri khasnya mengkaji hal-hal yang khusus untuk dikaji secara tuntas yang pada akhirnya diharapkan dapat memperoleh gambaran tentang objek telaahannya, namun pada kenyataannya kadang hasil temuan ilmiah berhenti pada simpulan-simpulan yang parsial dan terpisah-pisah. Jika terjadi seperti itu, ilmuwan berarti tidak mampu mengintegrasikan pengetahuan tersebut dengan pengetahuan lain.
Ketiga: Ontologi memberikan masukan informasi untuk mengatasi permasalahan yang tidak mampu dipecahkan oleh ilmu-ilmu khusus. Pembagian objek kajian ilmu yang satu dengan lainnya kadang menimbulkan berbagai permasalahan, di antaranya ada kemungkinan terjadinya konflik perebutan bidang kajian, misalnya ilmu bioetika itu masuk disiplin etika atau disiplin biologi. Kemungkinan lain adalah justru terbukanya bidang kajian yang sama sekali belum dikaji oleh ilmu apa pun. Dalam hal ini ontologi berfungsi membantu memetakan batas-batas kajian ilmu. Dengan demikian berkembanglah ilmu-ilmu yang dapat diketahui manusia itu dari tahun ke tahun atau dari abad ke abad.

B.           Epistemologi
Dalam belajar filsafat, kita akan menemui banyak cabang kajian yang akan membawa kita pada fakta dan betapa kaya dan beragam kajian filsafat itu. Sebenarnya yang terpenting  adalah bagaimana kita semua memahami  apa saja yan menjadi kajan filsafat, cabang-cabang filsafat.[6] Albuerey Castel membagi masalah filsafat menjadi enam bagian yaitu, teologis, metafisika, epistemologi, etika, plitik dan sejarah.[7]
Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari benar atau tidaknya suatu pengetahuan.[8] Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi mempunyai banyak sekali pemaknaan atau pengertian yang kadang sulit untuk dipahami. Dalam memberikan pemaknaan terhadap epistemologi, para ahli memiliki sudut pandang yang berbeda, sehingga memberikan pemaknaan yang berbeda ketika mngungkapkannya.[9]
Akan tetapi, untuk lebih mudah dalam memahami pengertian epistemologi, maka perlu diketahui pengertian dasarnya terlebih dahulu. Epistemologi berdasarkan akar katanya episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu yang sistematis, teori).[10]
Secara terminologi, epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu.[11]
Beberapa ahli yang mencoba mengungkapkan definisi daripada epistemologi adalah P. Hardono Hadi. Menurut beliau epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Tokoh lain yang mencoba mendefinisikan epistemologi adalah D.W Hamlyin, beliau mengatakan bahwa epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat  dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian – pengandaian serta secara umum hal itu dapat  diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.[12]
Dagobert D. Runes. Seperti yang di tulis Mujamil Qomar, beliau memaparkan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas, sumber, struktur, metode-metode, dan validitas pengetahuan.[13] Sedangkan menurut  Azyumardi Azra, beliau menambahkan bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan.[14] Walaupun dari kedua pemaparan di atas terdapat sedikit perbedaan, namun keduanya memberikan pengertian yang sederhana dan relatif mudah di pahami. Mudhlor ahmad merinci menadi enam aspek yaitu, hakikat, unsur, macam,  tumpuan, batas dan saran  pengetahuan.[15]
Am Syaifudin  menyebutkan bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai manakah batassannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkas menjadi dua masalah pokok, masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.[16]

1.        Ruang Lingkup Epistemologi
Dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan.Dalam hal ini, dua poin penting akan dijelaskan:
a)          Cakupan pokok bahasan,
Yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus seperti ilmu hushûlî.Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
1)        Makna leksikal ilmu adalah sama dengan pengideraan secara umum dan mencakup segala hal yang hakiki, sains, teknologi, keterampilan,kemahiran dan juga meliputi ilmu-ilmu seperti hudhûrî, hushûlî,ilmu Tuhan, ilmu para malaikat dan ilmu manusia.
2)       Ilmu adalah kehadiran (hudhûrî) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini digunakan dalam filsafat Islam. Makna ini mencakup ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî.
3)       Ilmu yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushûlî dimana berhubungan dengan ilmu logika (mantik).
4)       Ilmu adalah pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang diyakini dan belum diyakini.
5)       Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan realitas eksternal.
6)       Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang saling bersesuaian dimana tidak berhubungan dengan masalah-masalah sejarah dan geografi.
7)       Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat empirik.
b)          Sudut pembahasan
Yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana subyek ini dibahas,karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi.Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu. Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu pembahasan dibidang ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga menjadi pokok kajian epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab hadirnya pengindraan adalah dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari aspek pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang pembahasan akan sangat berpengaruh dalam pemahaman mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu.
Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan.Dan dari sisi ini, ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi[17].

2.       Aliran-aliran Epistemologi
Dalam teori epistemologi terdapat beberapa aliran. Aliran-aliran tersebut mencoba menjawab pertanyaan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan.
Pertama, golongan yang mengemukakan asal atau sumber pengetahuan yaitu aliran:
a)         Rasionalisme, yaitu aliran yang mengemukakan, bahwa sumber pengetahuan manusia ialah pikiran, rasio dan jiwa.
b)        Empirisme, yaitu aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan manusia berasal dari pengalaman manusia itu sendiri, melalui dunia luar yang ditangkap oleh panca inderanya.
c)         Kritisme (transendentalisme), yaitu aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu berasal dari dunia luar dan dari jiwa atau pikiran manusia sendiri.
Kedua, golongan yang mengemukakan hakikat pengetahuan manusia inklusif di dalamnya aliran-aliran:
a)         Realisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa pengetahuan manusia adalah gambaran yang baik dan tepat tentang kebenaran. Dalam pengetahuan yang baik tergambar kebenaran seperti sesungguhnya.
b)        Idealisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan hanyalah kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kanyataan yang diketahui manusia semuanya terletak di luar dirinya[18].

C.           Aksiologi
Aksiologi membahas tentang masalah nilai. Istilah aksiologi berasal dari kata axio dan logos, axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos artinya akal, teori, axiologi artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria dan status metafisik dari nilai[19].
Aksiologi sebagai cabang filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan[20].
Nilai Intrinsik, contohnya pisau dikatakan baik karena mengandung kualitas-kualitas pengirisan didalam dirinya, sedangkan nilai instrumentalnya ialah pisau yang baik adalah pisau yang dapat digunakan untuk mengiris[21], jadi dapat menyimpulkan bahwa nilai Instrinsik ialah nilai yang yang dikandung pisau itu sendiri atau sesuatu itu sendiri, sedangkan Nilai Instrumental ialah Nilai sesuatu yang bermanfaat atau dapat dikatakan Niai guna.
Aksiologi terdiri dari dua hal utama, yaitu:
Etika : bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang. Semua prilaku mempunyai nilai dan tidak bebas dari penilaian. Jadi, tidak benar suatu prilaku dikatakan tidak etis dan etis. Lebih tepat, prilaku adalah beretika baik atau beretika tidak baik.
Estetika : bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek. Indah dan jelek adalah pasangan dikhotomis, dalam arti bahwa yang dipermasalahkan secara esensial adalah pengindraan atau persepsi yang menimbulkan rasa senang dan nyaman pada suatu pihak, rasa tidak senang dan tidak nyaman pada pihak lainnya.
Aksiologi memberikan manfaat untuk mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia yang negatif sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi tetap berjalan pada jalur kemanusiaan. Oleh karena itu daya kerja aksiologi ialah :
1.       Menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan dapat menemukan kebenaran yang hakiki, maka prilaku keilmuan perlu dilakukan dengan penuh kejujuran dan tidak berorientasi pada kepentingan langsung.
2.      Dalam pemilihan objek penelahaan dapat dilakukan secara etis yang tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, tidak mencampuri masalah kehidupan dan netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik, arogansi kekuasaan dan kepentingan politik.
3.      Pengembangan pengetahuan diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup yang memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta keseimbangan, kelestarian alam lewat pemanfaatan ilmu dan temuan-temuan universal.[22]





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu ta onta berarti “yang berada”, dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Maka ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan, term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf.
Menurut etimologi, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu yang sistematis, teori). Secara terminologi, epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu.
Aksiologi membahas tentang masalah nilai. Istilah aksiologi berasal dari kata axio dan logos, axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos artinya akal, teori, axiologi artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria dan status metafisik dari nilai.

B.    Saran
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, kita dianjurkan untuk mempelajari filsafat dengan berbagai macam cabang ilmunya. Karena, dengan cara kerjanya yang bersifat sistematis, universal (menyeluruh) dan radikal, yang mengupas, menganalisa sesuatu secara mendalam, ternyata sangat relevan dengan problematika hidup dan kehidupan manusia serta mampu menjadi perekat antara berbagai macam disiplin ilmu yang terpisah kaitannya satu sama lain. Dengan demikian, menggunakan analisa filsafat, berbagai macam disiplin ilmu yang berkembang sekarang ini, akan menemukan kembali relevansinya dengan hidup dan kehidupan masyarakat dan akan lebih mampu lagi meningkatkan fungsinya bagi kesejahteraan hidup manusia.



DAFTAR PUSTAKA


Ahmad,  Mudlor. 1994. Ilmu Dan Keinginan Tabu (Epistemologi Dalam Filsafat). Bandung: Trigenda Karya.
Arief,  Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan Metedologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pres.
Idi, Jalaluddin Abdullah. 1997. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Hidayat, Anwar, Ruang Lingkup Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi, (7 Januari 2014),  https://plus.google.com/111276199-303520579310, diakses pada tanggal 9 Oktober 2015
Margono, Soejono Soe. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Muhmidayeli. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.
Mustansyir, Rizal dan Munir, Misnal. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Qomar, Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga.
Shamad, Abd dkk. 2012. Filsafat: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi, di akses dari http://philosopherscommunity.blogspot.com pada tanggal 18 Oktober 2014 pukul 13:15
Soyomukti,  Nuraini. 2011. Pengantar Filsafat Umum. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Susanto, A. 2001. Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara.
Syam, Nina W. 2010. Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama.
Tafsir, Ahmad. 2003. Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosdakarya.
WibSurajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.

INFORMASI MAKALAH:

Paper DOI
Peer-reviewed Publication DOI
CC-By Attribution 4.0 International 

Citations

APA
Zubaidillah, M. H. (2018, July 11). FILSAFAT ILMU: ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI. https://doi.org/10.17605/osf.io/2kx4v
MLA
Zubaidillah, Muh H. “FILSAFAT ILMU: ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI.” INA-Rxiv, 11 July 2018. Web.
Chicago
Zubaidillah, Muh H. 2018. “FILSAFAT ILMU: ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI.” INA-Rxiv. July 11. doi:10.17605/osf.io/2kx4v.


[1] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm.118-119
[2] A. Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Bumi Aksara: 2001), hlm. 91
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 28
[4] Jalaluddin Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), hlm. 104-105
[5] A. Susanto, op.cit, hlm. 92
[6] Nuraini Soyomukti,  Pengantar Filsafat Umum, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 111
[7] Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, (Jakarta, PT Rineka Cipta: 2010), hlm. 26
[8] Nina W. Syam, Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi (Bandung: Simbiosa Rekatama, 2010), cet 1, hlm 229
[9] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 2
[10] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm. 78
[11] Mujamil Qomar, op.cit., hlm. 3.
[12] Ibid.,
[13] Muajmil Qomar Ibid,  hlm, 4
[14] Ibid
[15] Mudlor Ahmad,  Ilmu Dan Keinginan Tabu (Epistemologi Dalam Filsafat), (Bandung: Trigenda Karya. 1994)  hlm. 61
[16] Mujamil Qomar, op,cit., hlm. 4
[17] Abd Shamad dkk, Filsafat: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi, di akses dari http://philosopherscommunity.blogspot.com/2012/05/filsafat-ontologi-epistemologi-dan.ht ml pada tanggal 18 Oktober 2014 pukul 13:15 Wib
[18] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metedologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pres, 2002), hlm. 5
[19] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 26
[20] Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1986), hlm. 327
[21] Ibid, hlm. 328
[22] Anwar Hidayat, Ruang Lingkup Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi, (7 Januari 2014), https://plus.google.com/111276199303520579310, diakses pada tanggal 9 Oktober 2015

7 comments: